REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Anggota Komisi X DPR Reni Marlinawati menyambut baik keputusan menerbitkan Perppu tentang Perlindungan Anak. Menurut dia, penerbitan Perppu itu merupakan bentuk sikap perlawanan negara terhadap kejahatan seksual yang belakangan marak di Tanah Air.
Reni menyatakan, ada pesan jelas dan tegas, negara hadir dalam persoalan yang belakangan muncul di tengah masyarakat ini. Namun dia juga menyampaikan sejumlah catatan kritis terhadap substansi materi Perppu Perlindungan Anak ini seperti soal pidana tambahan berupa hukuman kebiri yang paling lama sesuai pidana pokok dinilai tidak memberi efek jera, ketiadaan ancaman hukuman mati bagi pelaku juga tidak akan memberi efek jera dan terkait ketiadaan aspek pencegahan.
"Begitu juga ketiadaan norma tentang rehabilitasi korban kejahatan seksual, dapat menjadi materi masukan untuk mervisi aturan tersebut di masa persidangan mendatang," katanya.
Karena Reni mengajak kepada fraksi-fraksi di DPR dalam masa persidangan berikutnya agar menerima Perppu Perlindungan Anak ini sebagai UU. "Untuk tahap berikutnya dapat melakukan revisi terhadap sejumlah substansi yang dinilai belum sempurna serta membuat norma baru yang belum diatur dalam Perppu ini," katanya.
Penerbitan Perppu ini bukan berarti proses legislasi di DPR, yakni pembahasan RUU Perlindungan Kejahatan Seksual yang telah disepakati masuk dalam daftar Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2016 ini terhenti. Namun justru agar RUU tersebut terus dilakukan pembahasannya secara simultan dan komprehensif.
"Harapannya, UU Perlindungan Kejahatan Seksual dapat melengkapi Perppu Perlindungan Anak ini," katanya.
Pemerintah telah memutuskan menambah pidana kebiri kimia bagi pelaku kejahatan seksual terhadap anak-anak dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1/2016 tentang Perlindungan Anak. "Perppu ini dimaksudkan untuk mengatasi kegentingan yang diakibatkan terjadinya kekerasan seksual terhadap anak yang makin meningkat secara signifikan," kata Presiden Joko Widodo dalam jumpa pers di Istana Negara, Jakarta, Rabu sore.
Presiden pada Rabu telah menandatangani Perppu Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Lingkup Perppu Nomor 1/2016 itu mengatur pemberatan pidana dan atau pidana tambahan serta tindakan lain bagi pelaku kekerasan seksual terhadap anak dan pencabulan dengan syarat-syarat tertentu.
Pemberatan pidana yang dimaksud, yaitu penambahan sepertiga hukuman dari ancaman pidana, pidana mati, pidana seumur hidup serta pidana penjara dengan masa hukuman paling singkat 10 tahun dan paling lama 20 tahun. "Pidana tambahan, yaitu pengumuman identitas pelaku, tindakan berupa kebiri kimia dan pemasangan alat deteksi elektronik," kata Presiden.