REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Seruan gerakan antitembakau kepada Presiden Jokowi untuk segera mengaksesi Framework Convention on Tobacco Control (FCTC) harus dipahami secara komprehensif. Wakil Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR, Firman Subagyo menilai ada stakeholders yang sangat berkepentingan dengan aksesi FCTC di Indonesia.
Mengacu pada buku Nicotine War: Perang Nikotin dan Pedagang Obat karya Wanda Hamilton, perdebatan soal rokok maupun produk tembakau bukan sekadar argumentasi teknis medis yang bebas nilai, tentang sehat dan tidak sehat.
"Ini sudah memasuki ranah persaingan bisnis korporasi yang dilakukan oleh para pemain industri farmasi, terutama, para produsen obat penghenti rokok seperti permen karet Nicorette, Koyok Nicoderm dan Nicotrol, obat hisap dan semprot Nicotrol maupun Zyban,” ujar Firman di Jakarta, Ahad (29/5).
Firman menyebut produsen farmasi ini berada di belakang gerakan antitembakau yang belakangan ini sibuk mengampanyekan bahaya-bahaya tembakau. Mereka dengan kucuran dana besar ngotot menekan pemerintah, dan bahkan merasuk melalui organisasi massa (ormas) untuk membuat regulasi pengetatan atas tembakau, salah satunya FCTC.
"Ketika pegiat antitembakau sibuk berkampanye, korporasi-korporasi internasional yang diuntungan dari kegiatan ini sibuk menghitung peluang, meraup keuntungan dari bisnis nikotin,” kata dia.
Firman menyebut Baleg DPR tidak akan gegabah meratifikasi FCTC yang harus dilihat dari semua aspek, baik kepentingan ekonomi maupun sosial masyarakat. Menurut dia, industri rokok kretek masih dianggap penting oleh pemerintah. Secara nasional, industri hasil tembakau menyerap 6 juta tenaga kerja dengan kontribusi sebesar Rp139,5 triliun terhadap penerimaan cukai negara.
Firman sebelumnya sempat disorot media karena menjadi pengusul pasal kretek sebagai warisan budaya nasional. Pasal kretek dimasukkan dalam RUU Kebudayaan saat draf beleid berada dalam proses harmonisasi di Baleg DPR. "Saya yang pertama menyampaikan, dan clear karena ada masukan dari budayawan," kata Firman, di kompleks parlemen Senayan, Selasa (29/9).
Firman menegaskan, usulan kretek sebagai bagian warisan budaya nasional memiliki argumentasi. Salah satunya, kretek sudah menjadi tradisi yang dilakukan masyarakat Indonesia dan diakui oleh dunia. Menurut dia, keberadaan kretek sudah termasuk bagian dari kekayaan budaya Indonesia karena hanya satu-satunya di dunia. Jangan sampai, kretek diakui oleh negara lain, dan Indonesia harus membayar royalti jika ingin membuat kretek.
Komisi X DPR RI akhirnya memutuskan untuk menghapus pasal tentang keretek tradisional sebagai salah satu warisan budaya nasional dari Rancangan Undang-Undang (RUU) Kebudayaan. Keputusan ini diambil setelah Komisi X menggelar rapat internal sebelum mengajukan draf RUU Kebudayaan ke Sidang Paripurna DPR.