REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Anggota Komisi VII DPR, Ledia Hanifa, mengatakan, kurangnya lembaga sosial untuk rehabilitasi anak yang berhadapan dengan hukum (ABH) merupakan masalah serius. Ia mengakui penambahan panti ABH dan lembaga pembinaan khusus anak (LPKA) belum bisa dilakukan secara serta merta.
"Kurangnya ABH dan LPKA merupakan persoalan serius. Sebab, kondisi ini menghambat rehabilitasi ABH. Mereka jadi tidak bisa memperoleh bimbingan pemulihan yang semestinya," kata Ledia kepada awak media usai rapat perlindungan anak antara Komisi VIII DPR dengan Kemensos, KemenPPPA dan Polri, Senin (30/5).
Saat ini, lanjut dia, masih banyak ABH yang dititipkan di lembaga pemasyarakatan (lapas dewasa). Ledia mencontohkan, ada salah satu lapas dewasa di Bandung yang dititipi ABH.
Para ABH ini dibina ibu asuh. Kondisi seperti ini dinilainya kurang maksimal dalam merehabilitasi ABH. Sebab, belum ada standar jaminan apakah para orang dewasa yang menjadi orangtua asuh menerapkan pola rehabilitasi yang baik.
Karena itu, pihaknya menyarankan adanya penambahan ABH dan LPKA. Jika ada keterbatasan dana, penambahan kedua lembaga rehabilitasi sosial dapat diintegrasikan dengan program-program di daerah.
"Selebihnya pemerintah daerah dan pemerintah pusat harus bekerjasama menanggulangi penyebab permasalahan anak dari hulu, yakni pornografi, narkotika dan pendidikan keluarga," ucap Ledia.
Berdasarkan data dari Kemensos, ada 18 LPKA dan 17 panti LBH yang ada di seluruh Indonesia.