REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wakil Ketua Komisi IV DPR Herman Khaeron melihat potensi kartel dalam bisnis sapi impor disebabkan pemerintah membebaskan pemasukan dan pengeluaran sapi kepada pengusaha. Padahal seharusnya kegiatan tersebut dipantau dan diatur secara tegas, disesuaikan dengan target swasembada sapi.
"Dulu di era Presiden SBY kuota impor (sapi) diatur menurut progres pencapaian swasembada, awalnya 120 ribu ton dikurangi jadi 90 ribu ton di 2013, lalu 2014 jadi 70 ribu ton, tapi di era Jokowi malah dibebaskan," kata dia, Selasa (7/6).
Bebas, sebab penetapan kuota tidak berdasarkan roadmap pencapaian swasembada. Alhasil, impor sembarangan misalnya ketika harga naik atau kebutuhan tiba-tiba meningkat. Kondisi tersebut memungkinkan penguasaan yang lebih bebas di sisi feedloter.
Kebijakan dan penetapan kuota impor, lanjut dia, juga jangan seperti pemadam kebakaran. "Ini sudah beberapa kali dan pemerintah tidak belajar dari kesalahan," tuturnya.
Peristiwa impor sapi berulang seharusnya dimanfaatkan unuk menyusun basis data untuk menghitung berapa kebutuhan disesuaikan dengan pertumbuhan ekonomim pertambahan penduduk, bulan-bulan rentan dan aspek lainnya.
Kementerian Pertanian (Kementan) mengupayakan agar impor daging sapi bakalan alias sapi yang belum mengalami penggemukan diperketat. Di mana, kuantitas impor harus berbasis data kebutuhan dalam negeri. Impor masih dilakukan untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri.
"Sudah kita hitung selama setahun ditetapkan kuota impor 600 ribu ekor sapi bakalan," kata Direktur Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan Muladno.
Ketika perhitungan kebutuhan dan pasokan jelas di awal tahun, perencanaan bisnis pengusaha dan peternak lokal akan jelas. Konsumen pun diharapkan tidak menghadapi gejolak harga.