DPR: Kerjasama Pengamanan Perbatasan Tiga Negara Harus Dijalankan

Sabtu , 25 Jun 2016, 01:33 WIB
Lokasi Provinsi Sulu di Filipina, sarang gerilyawan lokal Abu Sayyaf
Foto: lowlands-l.net
Lokasi Provinsi Sulu di Filipina, sarang gerilyawan lokal Abu Sayyaf

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- DPR RI mendesak pemerintah segera mengimplementasikan joint declaration hasil pertemuan trilateral antara Indonesia-Malaysia-Filipina. Dalam pertemuan tiga negara tersebut disepakati 4 poin kerjasama dalam upaya pengamanan kawasan perairan di perbatasan tiga negara.

"Saya meminta pemerintah segera mengimplementasikan joint declaration hasil pertemuan trilateral antara Indonesia-Malaysia-Filipina yang menyepakati 4 poin kerjasama dalam upaya pengamanan kawasan perairan di perbatasan tiga negara," ujar Wakil Ketua Komisi I DPR RI, Meutya Hafidz pada wartawan, Jumat (24/6).

Implementasi kerjasama pengamanan tiga negara tersebut dinilai sudah sangat mendesak. Keamanan wilayah perbatasan tiga negara semakin tidak stabil. Sebab, potensi ancaman penculikan, penyanderaan, dan perompakan oleh kelompok bersenjata di wilayah laut Indonesia-Malaysia-Filipina semakin meningkat.

Hal itu dinilai disebabkan karena potensi ekonomi dan perdagangan yang besar di ketiga negara itu. Meutya menilai pemerintah ketiga negara harus segera menyepakati Standar Operating Procedure (SOP) pengamanan di kawasan.

SOP ini sangat dibutuhkan ketika ada insiden yang mengancam keamanan di wilayah perbatasan ketiga negara, terutama di wilayah laut. Tiga negara sudah memiliki prosedur pengamanan yang disepakati masing-masing negara.

Politikus Partai Golkar ini mengatakan, intensitas kasus di wilayah perbatasan laut tiga negara dalam tiga bulan ini meningkat. Setidaknya sudah 40 warga Indonesia yang disandera oleh kelompok Abu Sayyaf di perairan Filipina.

Seharusnya, hal ini sudah tidak bisa ditolerir lagi. Kementerian Luar Negeri harus menekan pemerintah Filipina agar lebih serius menjaga wilayah perairannya. Sebab, bukan tidak mungkin kedepan warga Indonesia kembali menjadi sandera.

Komisi I meminta Kementerian Luar Negeri dan aparat terkait untuk melepaskan warga negara Indonesia yang disandera. Namun, pembebasan sandera tidak perlu memenuhi tuntutan penyandera dengan membayar uang tebusan.

"Saya mendukung kebijakan pemerintah untuk tidak membayar sepeser pun bagi kelompok separatis, karena akan berdampak negatif bagi keamanan WNI kita di luar negeri," tegasnya.