DPR Pertanyakan Mengapa WNI Kembali Disandera Perompak

Ahad , 26 Jun 2016, 21:21 WIB
Pemerintah Indonesia diwakili TNI menjemput 4 (empat) WNI Anak Buah Kapal (ABK) Kapal Tunda TB Henry yang disandera oleh kelompok Abu Sayyaf dari Pemerintah Filipina. (foto : Dok. Puspen TNI)
Foto: dok. Puspen TNI
Pemerintah Indonesia diwakili TNI menjemput 4 (empat) WNI Anak Buah Kapal (ABK) Kapal Tunda TB Henry yang disandera oleh kelompok Abu Sayyaf dari Pemerintah Filipina. (foto : Dok. Puspen TNI)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA --Wakil Ketua Komisi I DPR, Tubagus Hasanuddin, mempertanyakan kembali disanderanya awak kapal berbendera Indonesia oleh kelompok Abu Sayyaf. Menurut dia, ada tiga hal yang patut dipertanyakan dari kejadian penyanderaan berulang itu.

Pertama, kata dia, harus dicatat Indonesia sebelumnya telah sangat toleran terhadap perompak dengan bersedia memberi tebusan demi menyelamatkan awak kapal yang disandera. Tapi tebusan ini justru dimanfaatkan perompak sebagai satu kelemahan untuk memeras kembali.

Namun di sisi lain, Hasanuddin juga mempertanyakan sejauh mana dilakukan pencegah berikut melalui operasi patroli. Baik patroli sendiri maupun patroli bersama antarnegara.

"Hal kedua, kemana itu patroli bersama antarnegara? Mengapa selama ini tidak efektif, lalu bentuk MOU itu seperti apa,'' kata dia saat dihubungi, Ahad (26/6).

pria yang akrab disapa Kang TB Hasanuddin itu juga mempertanyakan soal perilaku para anak buah kapal (ABK) yang melintasi wilayah perairan rawan. Seharusnya, pascakejadian sebelumnya, para ABK kapal menjadi semakin waspada.

Mengapa para ABK tidak pernah berkoordinasi minta pengawalan dari pihak keamanan, khususnya dari TNI AL. Pemerintah sudah mengakui adanya peristiwa penyanderaan ABK Indonesia, yang sudah terjadi untuk ketiga kalinya.

Dalam dua peristiwa sebelumnya, Pemerintah Indonesia berhasil melakukan pembebasan keseluruhan ABK. Penculikan ABK pertama kali terjadi pada 26 Maret yakni sebanyak 10 ABK, kemudian pada 15 April 2016 sebanyak empat ABK, dan terakhir 20 Juni 2016 sebanyak tujuh ABK . Yang terakhir ini justru dibantah Panglima TNI.

Ancaman kelompok bersenjata di Filipina Selatan semakin besar setelah sejumlah peristiwa penculikan dan penyanderaan warga asing, termasuk WNI.‎ Solusi kedepan, lanjut dia, tingkatkan kordinasi 'joint patrol' bersama negara-negara tetangga, khususnya dengan negara Asean.

''Diberlakukanlah segera perlunya aturan wajib lapor ABK, untuk minta pengawalan dari aparat patroli laut terutama saat melintasi daerah-daerah rawan perompakan,'' ujar politikus PDIP tersebut.