REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- DPR RI menilai pengumuman kandungan vaksin palsu dan sarana pelayanan kesehatan yang menggunakannya sangat penting. Selain mengurangi keresahan masyarakat, hal itu juga dapat mengurangi ketidakpercayaan publik pada Kementerian Kesehatan dan Badan Pengawas Obat-obatan dan Makanan (BPOM).
Apalagi, sampai hari ini kecaman dari berbagai pihak masih terus dialamatkan kepada dua instansi pemerintah tersebut. Anggota Komisi IX DPR RI Saleh Partaonan Daulay mengatakan Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Mabes Polri sudah selesai melaksanakan tugas investigasinya.
"Ini kan sudah hari kelima pascauji laboratorium. Karena itu, sudah saatnya dipublikasikan kepada masyarakat. Publikasi itu sendiri tentu tidak akan menghentikan upaya penegakan hukum," ujarnya, Senin (4/7).
Selain itu, menurut dia, berlarut-larutnya kasus ini dinilai bisa dimanfaatkan pihak-pihak tertentu. Termasuk semakin memperbesar masalah yang sebetulnya sudah mulai dikanalisasi oleh Kemenkes dan BPOM. Komisi IX sendiri melihat ada keseriusan pemerintah untuk menuntaskan kasus ini.
"Yang kita sesalkan sejauh ini adalah penanganannya terkesan sangat lamban," kata politikus dari Partai Amanat Nasional (PAN) tersebut.
Sebaliknya, jika kandungan vaksin paksu segera diumumkan maka pemerintah selanjutnya bisa mencari solusi bagi anak-anak yang terlanjur telah diimunisasi dengan vaksin palsu tersebut.
Seperti diberitakan sebelumnya, masyarakat Indonesia dibuat gempar dengan temuan vaksin palsu yang beredar di 28 sarana kesehatan di tanah air. Fakta ini terungkap setelah Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Polri membekuk Rita Agustina dan Hidayat Taufiqurahman pada Selasa (21/6) lalu.
Pasangan suami istri ini ditangkap di kediaman mereka di perumahan Kemang Pratama Regency, Bekasi. Dari penangkapan itu, polisi menyita barang bukti berupa 36 dus atau sekitar 800-an ampul vaksin palsu. Hasil penyidikan mengungkapkan peredaran vaksin palsu ini telah menjalar ke berbagai daerah di Indonesia.
Vaksin palsu yang diungkap Bareskrim Polri berawal dari laporan masyarakat dan pemberitaan media massa tentang bayi yang meninggal dunia setelah diimunisasi. Praktik pembuatan vaksin palsu itu disebut-sebut telah berlangsung selama 13 tahun.