REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi IX DPR RI meminta pemerintah melalui Kementerian Kesehatan (Kemenkes) dan Kementerian Lingkungan Hidup (KemenLHK) untuk bisa kembali merumuskan payung hukum pemusnahan limbah-limbah RS tersebut. Sebelumnya, limah-limbah RS tersebut diduga kuat kembali digunakan oleh pelaku untuk membuat vaksin palsu.
Ketua Komisi IX DPR RI, Dede Yusuf, mengungkapkan, pada awalnya, payung hukum dan aturan soal pemusnahan limbah RS ini sudah ada. Pemusnahan itu pun dilakukan oleh masing-masing RS. Namun, sejak 2013, KemenLHK meminta pencabutan aturan pemusnahan limbah RS tersebut, lantaran dikhawatirkan menimbulkan polusi udara. Alhasil, sejak 2013 tidak ada payung hukum untuk menghancurkan limbah-limbah RS itu.
Guna menghindari pemakaian kembali limbah-limbah tersebut, Komisi IX pun meminta Kemenkes dan KemenLHK mengevaluasi kebijakan itu. Bahkan, lanjut Dede, bukan tidak mungkin jika Kemenkes menyiapkan atau membentuk lembaga khusus guna mengurusi limbah-limbah tersebut.
"Di dalam rekomendasi kami, kami meminta Menkes bersama KemenLHK duduk bersama, mengevaluasi kebijakan itu. Kalau perlu Kemenkes membuat organisasi baru untuk menampung dan menghancurkan limbah-limbah itu," kata Dede kepada wartawan di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta Pusat, Senin (18/7).
Dede menambahkan, Kemenkes memang harus bertanggungjawab soal pemusnahan limbah-limbah RS itu. Terlebih, sejak RS diminta untuk berhati-hati dalam penghancuran limbah RS tersebut. Tanggung jawab itu bisa saja diserahkan oleh Kemenkes kepada Bio Farma, selaku produsen obat, ataupun membuat lembaga tersendiri.
Dede menambahkan, limbah-limbah RS itu tidak hanya berbentuk ampul vaksin, tapi juga botol-botol infus, ataupun obat-obatan. Kekhawatiran pun muncul terkait penggunaan kembali limbah-limbah RS tersebut.
"Karena limbah industri RS itu, seperti suntikan, ampul, infus, dan lain-lain, itu nantinya dibuang kemana? Nah, ini kan jadi bekas pakai, kita tidak tahu jika tiba-tiba besok didengar lagi infus palsu," katanya.