REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- DPR diminta menangkap aspirasi publik yang tidak menghendaki TNI diberi kewenangan penindakan dalam pemberantasan terorisme. TNI dan Polri bekerja di area dan dengan pendekatan yang berbeda dalam pemberantasan terorisme.
"Doktrin TNI adalah kill or to be killed dalam menghadapi musuh. TNI akan bekerja dalam kerangka perang yang dipastikan mengabaikan prinsip-prinsip fair trial dan penghormatan hak asasi manusia (HAM)," ujar Ketua Setara Institute Hendardi dalam keterangan tertulisnya, Rabu (27/7).
Sementara Polri bekerja pada area penegakan hukum sehingga patuh pada prinsip fair trial dan memungkinkan pengutamaan penghormatan terhadap HAM. Menurut dia, pelibatan TNI dalam operasi militer selain perang (OMSP) hanya dibenarkan melalui perintah Presiden dan/atau dengan membentuk Undang-Undang Perbantuan Militer. Hingga kini aturan tersebut belum juga dirancang baik oleh DPR maupun pemerintah.
Dia mengatakan penundaan pembentukan UU Perbantuan Militer adalah cara untuk membiarkan TNI bekerja di wilayah abu-abu sehingga bisa masuk ke sektor manapun. Bukan hanya soal terorisme tetapi juga termasuk berbagai urusan sipil. Hendardi mengatakan perluasan wewenang TNI dengan cara menyisipkan peran-peran baru dalam berbagai penanganan kejahatan dan memberi dukungan terhadap pelaksanaan pembangunan, berpotensi mengembalikan supremasi militer pada ruang sipil.
"Jadi DPR mestinya menolak aspirasi pelibatan TNI dalam penindakan terorisme. Usulan ini merusak sistem penegakan hukum pidana," kata dia.