REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Anggota Komisi I DPR, Charles Honoris, kembali mengingatkan pemerintah agar tidak menggunakan strategi pembayaran tebusan untuk membebaskan tujuh warga Indonesia yang disandera kelompok bersenjata Filipina. Membayar tebusan berpeluang mengulang peristiwa penyanderaan serupa.
"Sebaiknya pemerintah tidak menggunakan cara-cara semacam pembayaran tebusan untuk membebaskan sandera. Membayar tebusan justru menjadi preseden buruk dan menyebabkan peristiwa penyanderaan selalu terulang," ujarnya.
Ia melanjutkan, semestinya pemerintah harus menempuh jalan diplomasi atau cara lain untuk membebaskan tujuh sandera. Pemerintah pun diharap dapat menjamin keselamatan para sandera hingga kembali pulang ke Indonesia.
Sementara untuk pencegahan penyanderaan secara jangka panjang, Charles meminta tiga negara, Indonesia, Filipina dan Malaysia segera menjalankan kesepakatan bersama mengamankan wilayah perairan masing-masing.
"Beberapa waktu lalu, panglima tentara dari ketiga negara telah membuat kesepakatan. Poinnya adalah mengamankan titik-titik rawan di masing-masing perairan dari ancaman perompak dan kejahatan lain. Karena ada kendala teknis, kesepakatan belum dilaksanakan," katanya.
Karena itu, pihaknya akan lebih mendorong pemerintah agar segera menjalankan kesepakatan itu. Langkah pencegahan kedua adalah meminta pemerintah untuk mendesak Filipina berkomitmen menjalankan ratifikasi konvensi internasional tentang penyanderaan.
Menurut Charles, poin utama dalam konvensi itu adalah pembebasan sandera tanpa menggunakan tebusan. Pembebasan dapat dilakukan dengan cara lain yang mempertimbangkan keselamatan para sandera.
"Filipina sudah sekitar 20 tahun meratifikasi konvensi itu. Karenanya, komitmen mereka dalam mewujudkan ratifikasi perlu ditegaskan kembali," tambah Charles.
Pada 20 Juni 2016 lalu, sebanyak tujuh warga Indonesia ABK Kapal Tugboat Charles 001 dan Kapal Tongkang Robby 152 disandera oleh kelompok bersenjata. Penyanderaan terhadap tujuh ABK Indonesia itu terjadi di Laut Sulu dalam dua tahap, yaitu pada 20 Juni sekitar pukul 11.30 waktu setempat dan sekitar 12.45 waktu setempat di Filipina selatan.
Ketujuh sandera itu kini berada di Pulau Jolo, Filipina selatan. Meski ada satu sandera sakit, pemerintah memastikan sebagian sandera lain dalam kondisi sehat dan aman.