REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Anggota Komisi IX DPR RI Adang Sudrajat, menjelaskan persoalan penambahan kewenangan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) untuk dapat melakukan penindakan hukum, baru akan diagendakan di tahun 2017 dan 2018 dalam bentuk penyusunan Rancangan Undang-Undang (RUU).
“Wacana untuk menambah kewenangan BPOM itu dalam rangka perumusan di undang-undang. RUU nya belum ada. Kita ingin itu menjadi agenda di 2017 dan 2018,” kata Adang, di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Rabu (15/9).
Menurutnya, selama ini payung hukum keberadaan BPOM hanya didasarkan pada Keppres Nomor 103 Tahun 2001 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Kewenangan, Susunan Organisasi, dan Tata Kerja Lembaga Pemerintah Non Departemen (LPND), sebagaimana yang termaktub dalam pasal 67-69.
Oleh karena itu, BPOM dinilai perlu memiliki landasan hukum berupa undang-undang untuk mendapatkan kewenangan atributif, agar kewenangan dalam menjalankan tugas tidak lagi bersifat delegatif. BPOM selama ini memang memiliki kewenangan adanya Penyelidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS).
"Cuma dari sisi sampai punya kewenangan menetapkan tersangka orang, kelihatannya itu masih ada di kewenangan polisi dan kejaksaan,” ucap Legislator PKS dari Daerah Pemilihan Jawa Barat II ini.
Selain itu, keterbatasan PPNS selama ini dalam hal penyelidikan kasus obat dan vaksin palsu hanya bersifat administratif untuk menemukan fakta di lapangan. Kalau pun ditemukan adanya kasus untuk menetapkan tersangka, harus melalui kepolisian untuk menyidik atau kejaksaan untuk melakukan penuntutan.
“Bahkan, wewenang PPNS itu pun saat ini masih berupa mengusulkan kepada pemberi ijin dalam hal ini pemerintah daerah baik tingkat kabupaten maupun provinsi untuk mencabut izin perusahaan yang diduga melakukan kesalahan,” tutur Adang.