REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Badan Legislasi (Baleg) DPR RI mengimbau Kementerian Riset dan Teknologi Pendidikan Tinggi bersama Kementerian Kesehatan untuk menunda program studi Dokter Layanan Primer (DLP). Imbauan ini berdasarkan penolakan masif dari beberapa stakeholder yang menilai program pemerintah tersebut tidak berbasis bukti dan tidak efisien.
“Kami hanya bisa mengimbau khususnya kepada Kementerian Kesehatan, walaupun melaksanakan program sesuai dengan undang-undang, tetapi sebaiknya jangan tergesa-gesa, DLP ditahan dulu,” ungkap Wakil Ketua Baleg Totok Daryanto saat Rapat Dengar Pendapat dengan Dirjen Kemenristekdikti, Kemenkes beserta ke-34 Ketua Wilayah Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB-IDI) di Gedung DPR, Selasa (27/9).
Politikus dari F-PAN itu berpandangan pemerintah sudah seharusnya mengkaji ulang program DLP yang tertuang dalam UU Dikdok. “Dari seluruh informasi yang kita tangkap disini, saya belum mendengar satupun yang setuju dilaksanakannya DLP. Kalau itu yang terjadi, tidak perlu dianalisa terlalu jauh, artinya ada masalah di UU itu,” kata Totok.
Program studi Dokter Layanan Primer merupakan pendidikan kedokteran lanjutan dari program profesi dokter yang setara dengan jenjang spesialis sesuai dengan amanat Undang-Undang (UU) Nomor 20 Tahun 2013 tentang Pendidikan Kedokteran (Dikdok).
Pengurus besar Ikatan Dokter Indonesia (IDI) mengatakan dokter layanan primer menyebabkan beberapa kontroversi. Setidaknya ada beberapa alasan utama IDI menolak program pemerintah tersebut. DLP dinilai akan memberatkan calon dokter, disamping biaya pendidikan kedokteran yang relatif mahal, DLP hanya akan menambah jalan panjang pendidikan dokter selama 3 tahun lagi. Padahal, untuk bisa berpraktik mandiri dengan Surat Tanda Registrasi (STR) definitif sebagai dokter diperlukan waktu minimum 8 tahun.
“Selain termahal, pendidikan dokter adalah pendidikan terpanjang di Indonesia, membutuhkan paling kurang 8 tahun untuk lulus, kalau orang itu cerdas dan bernasib baik. Dari antara 100 calon dokter, yang bisa tembus 8 tahun hanya 1 sampai 2 orang,” ungkap Abdul Razak Thaha Ketua Dewan Pakar PB-IDI.
Selain itu, UU Dikdok berpotensi menyebabkan konflik horizontal antara DLP dan Non-DLP pada ranah pelayanan primer. Sebab, tidak ada perbedaan signifikan antara kompetensi Dokter Layanan Primer (DLP) dengan kompetensi pendidikan dokter yang tercantum dalam Standar Kompetensi Dokter Indonesia (SKDI).
Untuk itu, IDI mengusulkan dilakukan revisi atas UU Dikdok dan meminta kepada pemerintah agar menghentinkan pembahasan substansi DLP dan berbagai kegiatan termasuk rekrutmen terkait persiapan program studi DLP. Sebelumnya, Badan Legislasi juga menerima Pengurus Pusat Perhimpunan Dokter Umum Indonesia (PDUI) yang menyerukan hal yang sama.