REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI, Ade Komarudin mengatakan tidak bisa memenuhi permintaan dari Gerakan Nasional Pengawal Fatwa MUI (GNPF-MUI). Sebab menggulirkan hak interpelasi, hak angket hingga Pansus dalam kasus penistaan agama, bukan kewenangannya sendiri, namun harus ada usul dari anggota DPR lainnya.
"Itu hak anggota bukan pada posisi pimpinan. Kami tidak bisa pelopori karena pimpinan DPR itu juru bircara parlemen. Semua yang diminta mereka adalah hak anggota," jelasnya di kompleks Parlemen, Jumat (18/11).
Politikus Golkar itu melanjutkan, meski demikian seluruh permintaan GNPF-MUI yang dikomando oleh Muhammad Rizieq Shihab itu akan ditindaklanjuti. Pihaknya akan mentranskrip seluruh rekaman percakapan pada pertemuannya dengan GNPF-MUI dan kemudian akan dilengkapi oleh mereka. Selanjutnya, pihaknya akan melaporkan kepada anggota baik itu di Bamus atau di Paripurna.
"Yang jelas yang semua disampaikan informasinya pimpinan menerima masukan dari gerakan itu. Nanti akan dilengkapi juga dalam pertemuan ini, kronologisnya," ujarnya.
Sebelumnya lima pimpinan DPR RI menerima kunjungan GNPF-MUI pada Kamis (17/11) sore WIB. Dalam pertemuan tersebut perwakilan GNPF-MUI juga mengadukan sejumlah kejanggalan terkait kasus penistaan agama yang dilakukan oleh Basuki Tjahaja Purnama (Ahok). Salah satunya, tidak ditahannya Ahok meski sudah berstatus tersangka.
Ketua rombongan Muhammad Rizieq Shihab menegaskan, sepanjang sejarah tidak ada satu orang pun yang ditetapkan sebagai tersangka atas pasal penistaan agama yang tidak ditahan. Rizieq mencontohkan kasus yang sama juga menimpa Arswendo, Lia Aminudin maupun Ahmad Musadeq semuanya ditahan, tapi tidak untuk Ahok.