REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi VIII DPR RI menerima masukan dari Guru Besar Universitas Gajah Mada (UGM) Nindyo Pramono terkait pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Tanggung Jawab Sosial Perusahaan (TJSP) atau Corporate Social Responsibility (CSR). Nindyo Pramono mengatakan bahwa CSR mempunyai sifat dasar sukarela.
Terjadi tanya jawab kedua arah yang dinamis antara anggota Komisi VIII yang dipimpin Wakil Ketua Iskan Qolba Lubis dengan pakar hukum tersebut, mengenai pengaturan mekanisme perusahaan melaksanakan CSR dengan Voluntary(sukarela) atau merupakan Mandatory (kewajiban).
"Kalau kita (Indonesia) mengacu kepada filosofi negara yang berdasarkan atas Pancasila dan UUD 1945, bahwa nilai moral sebagai dasar prilaku bisnis itu diakui di dalam sistem kenegaraan kita," kata dia.
Namun, jika hal yang bersifat sukarela akan digeser menjadi sesuatu yang menjadi kewajiban, menurutnya itu juga tidak salah dan tidak bertentangan. Sekalipun kalau ingin digeser menjadi suatu yang menjadi kewajiban menurut pandangannya menyarankan pemerintah tidak perlu mengatur kewajiban pelaksanaan CSR sedemikian mendalam dalam bentuk baku.
“Pikiran saya biarkan korporasi diberikan ruang untuk menterjemahkan kewajiban tersebut sesuai dengan situasi dan kondisi dari perusahaan dan masyarakat lingkungannya,” katanya, Kamis (24/11).
Dia tidak setuju dengan tidak perusahaan atau korporasi tidak melakukan CSR maka serta merta muncul sanksi-sanksi hukum maupun administrasi.
Menurut Iskan Qolba Lubis, ada dua pandangan yang berkembang saat di masyarakat, yang pertama RUU CSR ini sifatnya wajib supaya perusahaan yang belum disiplin mengeluarkan dana CSR bisa lebih ditekankan lagi.
Iskan memandang pakar hukum UGM ini lebih condong mengambil jalan tengah, yaitu negara perlu ikut berperan, tetapi jangan terlalu dalam dengan diberikan kebebasan perusahaan untuk mengelola dana CSR, karena CSR sifatnya sukarela.
Tujuan RUU ini dibentuknya prinsipnya perusahaan-perusahaan mendapatkan manfaat keuntungan yang sangat besar dari negara ini. Tetapi masyarakat di sekitar tidak merasakan manfaat dengan keberadaan perusahaan tersebut.
Iskan membenarkan bahwa perusahaan telah dikenakan penarikan retribusi melalui sistem perpajakan yang dikumpulkan dari seluruh negeri ke Pusat yang kemudian berbentuk Anggaran Pemdapatan Belanja Negara (APBN), namun bisa saja terjadi daerah di sekitar perusahaan itu tidak tersentuh anggaran negara.
“Kita mau melihat dana CSR itu dapat menutupi sistem menyaluran APBN, akan membantu negara pula dalam menuntaskan kemisikinan,” kata dia.
Anggota Komisi VIII dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Ledia Hanifa, menambahkan harus ada etika bisnis yang baik, sehingga perlu dipikirkan mekanisme kontrol, yang pada akhirnya mereka (perusahaan atau korporasi) mau menjalankan CSR.