DPR akan Panggil Bulog Terkait Harga Gula

Rabu , 15 Feb 2017, 01:42 WIB
Petugas menata produk Bantuan Pangan Non Tunai (BNPT) 'Beras Kita' dan gula 'Manis Kita' di gudang Bulog, Jakarta, Selasa (14\2).
Foto: Tahta Aidilla/Republika
Petugas menata produk Bantuan Pangan Non Tunai (BNPT) 'Beras Kita' dan gula 'Manis Kita' di gudang Bulog, Jakarta, Selasa (14\2).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi VI DPR akan meminta penjelasan Perum Bulog terkait stabilisasi harga gula yang selama ini belum optimal dalam menekan kenaikan harga komoditas tersebut. Wakil Ketua Komisi VI, Inas Nasrullah Zubir, mengatakan DPR akan memanggil Bulog setelah pilkada berlangsung.

"Salah satu yang akan kami tanya kenapa harga gula di pasaran tidak stabil. Kalau Bulog tidak mampu menstabilisasi harga, tentu harus ditinjau kembali," kata Inas, Selasa (14/2).

Ia menilai salah satu penyebab terjadinya ketidakstabilan harga gula adalah akibat adanya penimbunan dan rantai distribusi yang terlalu panjang. Untuk itu, menurut dia, solusi untuk mengatasi masalah tersebut adalah dengan melakukan pengawasan stok maupun alur distribusi dari pabrik BUMN serta swasta dan gudang Bulog. Selain itu, tambah Inas, pemerintah juga perlu melakukan operasi pasar untuk memastikan terjadinya stabilisasi harga gula dan meningkatkan sebaran gula di pasaran.

"Gula ini ketahanannya tidak seperti minyak, jadi banjiri saja pasarnya oleh pemerintah. Pabrik gula juga tidak pada tempatnya menimbun," kata Politikus Partai Hanura ini.

Anggota Komisi VI, Taufiq Abdullah, mengatakan Perum Bulog bisa melakukan koordinasi dengan perkebunan tebu agar lebih maksimal dalam menjaga kestabilan harga berbagai bahan pangan pokok seperti gula. "Bulog seharusnya kerja sama dengan perusahaan tebu untuk melakukan pemetaan ketersediaan tebu, sehingga bisa dibaca secara cermat saat kapan terjadi booming dan kekurangan," ujarnya.

Dalam kesempatan terpisah, Direktur Eksekutif Nusantara Sugar Community (NSC) Colosewoko mengatakan salah satu upaya menjaga kestabilan harga gula dengan penetapan harga eceran tertinggi sebesar Rp 12.500 per kilogram sudah merupakan langkah yang baik. Namun, menurut dia, penetapan harga eceran itu tidak akan efektif jika persoalan tingginya biaya distribusi di berbagai daerah belum teratasi dengan optimal.

Colosewoko juga memastikan apabila masih ada harga gula melebihi harga eceran tersebut, berarti banyak stok gula yang tersimpan di gudang dan belum sepenuhnya tersalurkan ke tingkat konsumen. "Kalau dari perhitungan kami, sisa stok gula tahun lalu 1,4 juta ton, yang terdiri dari GKP tebu petani 800 ribu ton, dan GKP dari rafinasi 600 ribu ton. Bila stok itu tersalurkan, seharusnya harga yang ditetapkan pemerintah sudah bisa memenuhi," katanya.

Sumber : Antara