REPUBLIKA.CO.ID, JAKARYA -- Data Most Littered Nation In the World yang dilakukan oleh Central Connecticut State Univesity pada Maret 2016 lalu, menyatakan bahwa Indonesia menduduki peringkat ke-60 dari 61 negara soal minat membaca. Padahal, tingkat minat baca atau daya literasi suatu bangsa memberikan pengaruh yang besar dalam persaingan global antar bangsa. Rancangan Undang-undang Sistem Perbukuan (RUU Sisbuk) diharapkan menjadi jawaban atas rendahnya minat baca masyarakat Indonesia.
Demikian ditekankan Ketua Panja RUU Sisbuk sekaligus Wakil Ketua Komisi X DPR Sutan Adil Hendra, saat Uji Publik RUU Sisbuk di Universitas Muhammadiyah Malang, Malang, Jawa Timur, Rabu (22/3). “Melihat posisi Indonesia tersebut, kondisi daya literasi bangsa kita sungguh memprihatinkan, tidak heran jika kita tidak dapat bersaing dengan bangsa-bangsa yang memiliki budaya literasi yang baik. RUU tentang Sistem Perbukuan yang kita susun bertujuan untuk menjawab salah satu permasalahan yang kita dihadapi terkait dengan rendahnya tingkat daya literasi masyarakat Indonesia,” kata Sutan.
Sutan menjelaskan, RUU yang terdiri dari 12 bab dan 72 pasal berdasar perkembangan terakhir RUU pada 9 Februari lalu, disusun berdasar filosofis, fisiologis, dan yuridis. Konsep dan arah kebijakan perbukuan dalam RUU tentang Sisbuk diharapkan akan menjawab permasalahan mengenai keterbatasan akses masyarakat terhadap buku yang bermutu, murah, dan merata.
“Buku yang akan diterbitkan harus berkualitas, baik fisik maupun isinya. Kualitas fisik bisa dilihat dari bahan, pencetakan, penjilidan, dan kerapian. Sedangkan kualitas isi dilihat dari nilai edukatif, informatif, dan hiburan,” ujar dia.
RUU Sistem Perbukuan Diharapkan Perbaiki Mutu Buku
Sementara untuk sisi murah, masih kata Sutan, yaitu buku terjangkau dari segi harga sesuai dengan daya beli masyarakat, terutama buku-buku pendidikan yang berkualitas melalui penyediaan yang dilakukan oleh Pemerintah. Dan merata, yaitu buku tersedia dan tersebar merata di seluruh wilayah Indonesia, termasuk buku-buku untuk penyandang disabilitas, dan daerah 3T di Indonesia.
“Membudayakan membaca dan menulis adalah hal paling penting dengan harapan bisa meningkatkan daya literasi Indonesia agar dapat bersaing di tingkat global,” kata Sutan.
Sutan menambahkan, RUU Sisbuk ini nantinya juga akan memberikan perlindungan dan kepastian hukum bagi pelaku pembukuan terkait karya intelektual. Selain itu, juga memfasilitasi dan membina program perbukuan nasional yang diawasi oleh pemerintah pusat, daerah, dan masyarakat perbukuan. Ia mengakui, saat ini pengaturan perbukuan masih tersebar dalam berbagai peraturan perundang-undangan, sehingga dibutuhkan pengaturan perbukuan yang sistematis dan komprehensif.
Selain itu, RUU ini juga memberikan perluasan dan penguatan kepada lembaga perbukuan yang sudah ada di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan saat ini yaitu Pusat Kurikulum dan Perbukuan yang dilaksanakan oleh pejabat setingkat Eselon III. RUU ini memberikan cakupan kewenangan dan tanggung jawab yang lebih luas, oleh karena penyelenggaraan sistem perbukuan kedepan akan diampu oleh pejabat setingkat Eselon I dalam hal ini Badan Bahasa dan Perbukuan.
“Hal ini seperti yang telah dilaksanakan negara tetangga kita, Malaysia dan Brunei Darussalam. Harapan kita, lembaga ini akan memfasilitasi dan membina penyelenggaraan sistem perbukuan secara nasional,” kata dia.
Dalam kesempatan itu, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhadjir Effendy mengemukakan budaya membaca (perbukuan) dan literasi masyarakat Indonesia tertinggal empat tahun dibandingkan dengan negara lain. Oleh karena itu, masalah perbukuan atau literasi tersebut sangat mendesak dan harus diluruskan dan harapannya RUU Sistem Perbukuan segera disahkan.
Menurut Muhadjir, RUU Sistem Perbukuan ini menjadi pertanda bangsa Indonesia telah menyadari pentingnya buku dan membaca untuk memperkokoh bangsa menuju Indonesia lebih baik. Ketertinggalan yang saat ini dialami bangsa Indonesia harus dikejar dengan RUU tersebut dan disesuaikan dengan situasi dan kondisi seluruh wilayah di Indonesia.