REPUBLIKA.CO.ID, JAYAPURA -- Puluhan tahun sudah PT Freeport Indonesia (PT FI) menjalankan aktivitas tambang di Indonesia, khususnya di Papua. Namun, keberadaannya dinilai hanya berdampak rendah hingga sedang pada perekonomian Papua. Anggota Komisi XI DPR Hendrawan Supratikno menilai, tanpa adanya PTFI pun, perekonomian Papua tak akan berhenti.
“Dampak Freeport pada ekonomi Papua itu rendah hingga sedang. Artinya tanpa Freeport ekonomi Papua tidak akan kiamat,” kata Hendrawan usai pertemuan dengan Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Papua, Otoritas Jasa Keuangan Papua, dan Badan Pusat Statistik Papua Jayapura, Papua, Jumat (7/4).
Politikus F-PDI Perjuangan itu menambahkan, untuk melihat dampak dari keberadaan PT FI, ada beberapa indikator yang bisa dilihat. Salah satunya adalah jumlah tenaga kerja asli Papua yang dipekerjakan di PT FI. Ia pun menilai, Indonesia memiliki posisi tawar yang cukup kuat terkait perpanjangan kontrak PT TI, yang akan berakhir pada 2021 mendatang.
“Selama ini ditakut-takuti kalau Freeport kontraknya tidak diperpanjang, dan tidak segera diambil alih Pemerintah, itu masalahnya akan muncul. Dari hasil pertemuan ini, bisa dilihat pemerintah punya posisi kuat untuk melakukan bargaining dengan manajemen Freeport,” kata Hendrawan.
Menilik tentang kondisi pereekonomian Papua saat ini, Hendrawan menjelaskan bahwa pertumbuhan ekonomi Papua berada di atas rata-rata nasional. Tapi karena ekonominya bersifat ekstratif, atau hanya mengandalkan hasil pertambangan, sehingga sangat dipengaruhi oleh harga komoditas dunia.
“Kalau harga-harga komoditas naik, harga tambang dunia tinggi, Papua langsung mengalami ekonomi melejit. Tapi kalau harga komoditas turun, ekonomi Papua mengalami kesulitan,” kata Hendrawan.
Untuk itu, karena sebagian besar masyarakat Papua bekerja di sektor pertanian, maka produktivitas sektor pertanian yang harus ditingkatkan, dengan penggunaan metode sarana produksi yang lebih baik.
“Bagaimana mengelola pertanian supaya betul-betul efisien dan efektif, membutuhkan edukasi luar biasa, dan pelatihan keterampilan terhadap warga Papua secara masif harus dilakukan,” kata dia.
Sebelumnya, Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Papua, Joko Supratikto mengatakan, pertumbuhan ekonomi Papua pada Triwulan IV tahun 2016 meningkat 21,41 persen (yoy) ditopang oleh kinerja sektor pertambangan. Sementara tanpa sektor pertambangan, hanya tumbuh sebesar 6,19 persen (yoy).
“Dalam enam tahun terakhir, tren produksi tambang Papua cenderung naik. Namun dalam realisasinya kinerja sektor pertambangan Papua mengalami fluktuasi yang relatif besar. Kendala produksi dan regulasi menjadi faktor utama fluktuasi kinerja tambang,” kata Joko.
Namun, jika dilihat dari kesejahteraan masyarakat Papua, dalam delapan tahun terakhir, penurunan kemiskinan cenderung lamban, sementara ketimpangan pendapatan cenderung melebar. Disparitas tingkat kemiskinan antar provinsi sangat tinggi, dimana nasional sebesar 10,7 persen dan Papua sebesar 28,4 persen.
“Kesenjangan pendapatan Papua masih tinggi, yaitu 0,399. Bahkan lebih tinggi dibandingkan nasional yang hanya 0,394,” imbuh Joko.
Joko menambahkan, terhadap perpanjangan kontrak antara Pemerintah Indonesia dengan PT FI, pihaknya merekomendasikan agar proses negosiasi perpanjangan izin perlu dipercepat, mengingat dampak sosiasl ekonomi yang berpotensi terjadi lebih tinggi.
Selain, itu dia merekomendasikan, dalam pengolahan produk tambang untuk meningkatkan nilai tambah perlu menjadi pertimbangan, mengingat pemanfaatan sektor pertambangan sebagai input sektor lain masih relatif kecil.
Kunspek yang dipimpin oleh Wakil Ketua Komisi XI M. Prakosa (F-PDI Perjuangan itu juga diikuti oleh beberapa Anggota Komisi XI DPR, diantaranya Indah Kirana (F-PDI Perjuangan), Tutik Kusuma Wardhani (F-PD), Junaidi Auly (F-PKS), Anarulita Muchtar (F-Nasdem), Amir Uskara (F-PPP), dan Nurhayati (F-PKB).