REPUBLIKA.CO.ID, BOGOR -- Kekuatan ekonomi umat Islam akan memengaruhi politik bangsa. Sebab, keduanya memiliki kaitan erat. Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah mengatakan perjuangan politik dan ekonomi Islam tak bisa berjalan masing-masing.
Dalam Dialog Kebangsaan di forum Days of Islamic Economics Revival (DINAR) 2017 STEI Tazkia, Sentul, Kabupaten Bogor pada Kamis (11/5), Fahri menjelaskan, ekonomi Indonesia harus kembali kepada falsafah bangsa. Konstitusi Indoenesia terbilang unik karena ada falsafah ekonomi di dalamnya. Ada Pasal 33 sebagai pelaksana atas Pembukaan UUD 1945.
Sebanyak 75 persen pendapatan Indonesia berasal dari pajak sumber daya alam. Ekonomi Indonesia masih bertumpu pada sumber daya alam. Sehingga pemerintahan sebelumnya terlihat gagah karena harga komoditas sedang naik.
Di sisi lain, penjajahan korporasi besar bisa tidak kunjung selesai. Untuk melawan itu, harus ada perubahan pola pikir dengan mendorong bertambahnya pengusaha lokal. ''Kita harus makan dari apa yang kita olah sendiri,'' kata Fahri.
Ia mengusulkan agar umat Islam ikut serta dalam advokasi kebijakan. Sudah ada politisi-politisi Muslim yang sadar masa depan ekonomi Indonesia adalah ekonomi syariah. Kalau ekonomi syariah tidak diadvokasi sejak awal, agen asing akan terus menyusup. Maka umat harus memengaruhi kebijakan.
''Kita harus bangun institusi. Islamkan institusi yang masih konvensional,'' kata dia.
Bangun SDM juga tak kalah penting. Banyak yang merasa SDM keuangan dan bisnis syariah lokal masih sangat terbatas. Ini tantangan bersama. ''Perbanyak dan dorong pemuda untuk jadi pengusaha. Kita harus berperan di ekonomi sendiri sehingga kita menghidupkan ekonomi kita dengan ekonomi syariah,'' kata Fahri.
Baik ekonomi baik, politik juga baik. Politik umat ngos-ngosan karena tak ada dana yang membantu geraknya. Kalau umat Islam kaya, akan makin banyak yang kontribusi untuk perjuangan Islam di politik. "Jadi bangkit bersama, ekonomi dan politik tidak bisa jalan masing-masing,'' kata Fahri.
Dalam 18 tahun terakhir, konversi aset luar biasa terutama 18 tahun terakhir ini karena otonomi daerah. Karena otoritas disebar ke daerah, ada otoritas konversi aset pula di daerah. Terjadi konversi aset terutama tanah yang berpindah kepemilikan secara masif. Tak jarang kepemilikannya ke pengusaha asing atau mitra pengusaha asing. Konversi ini tidak hanya privat ke privat, tapi juga privat ke negara lain.
Di sisi lain, kelas menengah memang tumbuh. Tapi pesaingan seperti sekarang ini menimbulkan korban. Negara tidak hadir untuk menyelamatkan korban persaingan ini sehingga ada bom waktu di ekonomi Indonesia.