REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah dinilai memerlukan badan khusus yang menangani masalah perpajakan. Anggota Komisi XI DPR RI Indah Kurnia mengatakan direktorat Jenderal Pajak memiliki beban kerja yang cukup berat. Sebab, Ditjen Pajak menjadi tulang punggung penerimaan negara. Sebanyak 80 persennya berasal dari pajak. Beratnya beban tugas Ditjen Pajak, membuat wacana pengelolaannya untuk dipisahkan dengan Kementerian Keuangan pun berkembang.
Menurutnya, dengan masih bergabungnya Ditjen Pajak dengan Kemenkeu, ada beberapa peraturan yang seolah terikat dengan kementerian lainnya, bukan hanya Kemenkeu. “Kalau Ditjen Pajak masih digabung dengan Kemenkeu, ada beberapa hal yang tidak bisa dikelola sendiri, dan harus terkait dengan kebijakan atau policy dari kementerian lain, misalnya terkait kebutuhan tambahan karyawan,” kata Indah, usai rapat Badan Urusan Rumah Tangga (BURT) di Gedung DPR RI, Senayan, Jakarta, Kamis (18/5).
Menurut politikus F-PDI Perjuangan itu, terkait minimnya jumlah SDM di lingkungan Ditjen Pajak, dibatasi aturan oleh Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi. Ia menilai, Kemenpan RB tak mengetahui secara pasti kebutuhan SDM Ditjen Pajak, padahal pihaknya dapat memahami kebutuhan SDM Ditjen Pajak yang harus dimaksimalkan.
“Kalau Ditjen Pajak mendapatkan beban dan kewajiban yang begitu besar untuk menanggung dan mengadakan anggaran untuk kebutuhan belanja negara, kemudian setiap langkahnya dibatasi oleh aturan tertentu, tentu ini menjadi tidak adil,” kata Indah.
Hal ini menurutnya turut berdampak pada kinerja, dimana penerimaan pajak pun tak mencapai target. Sehingga jika mau adil, maka Ditjen Pajak harus menjadi badan tersendiri. Badan ini akan terpisah dengan Kemenkeu, dan akan berada dibawah komando Presiden secara langsung. Namun dalam menjalankan kinerjanya, masih melakukan koordinasi dengan instansi Komite Stabililitas Sistem Keuangan (KSSK), seperti Kemenkeu, Bank Indonesia, maupun Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
“Beban dan tugas Ditjen Pajak sangat berat, namun dengan jumlah SDM sangat sedikit. Bagaimana kita menuntut seseorang lebih dari kapasitas secara manusiawi. Harusnya yang ideal-ideal itu kita berikan. Kita support SDM, IT, bukan hanya kualitas, tapi juga kuantitas. Jika itu diberikan, diharapkan mendapatkan hasil yang maksimal,” kata Indah.
Selain itu, perlu diberlakukan reward dan punishment yang sepadan. Jika berhasil mencapai target, tentu harus diberikan reward atau penghargaan yang setinggi-tingginya. Gaji dan tunjangannya yang diberikan cukup besar, sehingga dapat bekerja dengan maksimal, dan menciptakan loyalitas dan integritas yang tinggi, dan kebal dari gangguan korupsi.
“Tapi kalau dia melakukan kesalahan, atau tidak mencapai target, punishment juga kita berikan. Sehingga, reward dan punishment yang diberlakukan seimbang. Itu baru kita anggap ideal,” kata dia.
Sebagaimana diketahui, target penerimaan pajak yang tak pernah tercapai lagi dalam satu dekade terakhir. Catatan Ditjen Pajak menunjukkan, terakhir kali target pajak terpenuhi adalah pada 2008, dengan pencapaian surplus Rp 36,57 triliun dari target yang ditetapkan sebesar Rp 534,53 triliun. Sejak saat itu, realisasi pajak tak pernah menembus angka 100 persen dari target yang ditetapkan.
Bahkan sejak 2015, realisasi pajak tidak ada yang berhasil mencapai 90 persen. Pada 2016, realisasi pajak hanya mencapai 81,54 persen. Pencapaian pada 2016 saja masih terbantu dengan program amnesti pajak, karena jika tidak, kemungkinan realisasi pajak hanya akan sampai pada kisaran 70 persen.