REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) bersama pemerintah sepakat membentuk Panitia Kerja (Panja) untuk membahas Rancangan Undang-Undang tentang Jabatan Hakim. Pembahasan rencananya akan dimulai pada awal Juni 2017.
“Kita sepakati kemungkinan besar rapat setelah tanggal 6 Juni, baru akan rapat Panja RUU Jabatan Hakim,” kata Wakil Ketua Komisi III DPR RI Trimedya Panjaitan saat memimpin rapat kerja antara Komisi III dengan pemerintah, di Gedung DPR RI, Senayan, Jakarta, Senin (29/5).
Dalam kesempatan ini, pemerintah diwakili Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly, perwakilan Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, serta perwakilan Kementerian Keuangan.
Politisi Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan itu menerangkan, pada tingkatan Panja akan dibahas secara dalam terkait setiap substansi pasal-pasal yang termaktub pada rancangan perundangan ini. “DIM (Daftar Inventarisasi Masalah) berjumlah 389, setelah penyisiran sebanyak 205 DIM tetap, redaksional 45 DIM, substansi 109 DIM, subtansi baru 27 DIM, dan jumlah DIM yang bersifat mohon penjelasan sebanyak tiga DIM,” ujar Trimedya.
Sebelumnya, Trimedya juga menjelaskan beberapa poin krusial dalam Rancangan Undang-Undang yang menjadi usul inisiatif DPR ini. Diantaranya, menambahkan hakim militer dalam ruang lingkup jabatan hakim. Berikutnya, mengubah pengaturan pendelegasian mengenai kode etik dan pedoman perilaku hakim dari yang semula diatur oleh Komisi Yudisial (KY) dan Mahkamah Agung (MA) menjadi diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Kemudian, Hak Hakim yang diberikan secara proporsional sesuai dengan kedudukan hakim di lingkungan peradilan dan kemampuan keuangan negara, menambahkan KY sebagai lembaga yang akan bersama-sama dengan MA melakukan uji kompetensi dan kelayakan dan menentukan lulus atau tidaknya calon hakim tinggi, dan beberapa poin lainnya.
Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly menyampaikan, pemerintah menyambut baik usulan RUU Jabatan Hakim. Menurutnya, selama ini, jabatan hakim belum diatur secara komprehensif. “Hakim merupakan pejabat negara yang perlu menjaga integritas dan profesionalitas. Jabatan hakim perlu diatur dalam undang-undang. Secara prinsip, pemerintah sependapat dengan undang-undang ini,” jelas Yasonna.
Agar menghasilkan undang-undang yang komprehensif, Yasonna menyampaikan tiga poin pokok yang harus dicermati dalam pembahasan RUU. Pertama, RUU Jabatan Hakim harus memperhatikan penentuan status dan kedudukan hakim sebagai pejabat negara. Sebab selama ini, kedudukan hakim sebagai pejabat negara masih berpola sebagai PNS (pegawai negeri sipil).
Kedua, dalam menyikapi putusan Mahkamah Konstitusi, kata dia, beberapa materi sudah diputus berdasarkan Putusan MK Nomor 43, yang membatalkan norma seleksi hakim oleh Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial. Ketiga, RUU Jabatan Hakim harus memperhatikan lingkup kewenangan lembaga berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945, yang di dalamnya tercantum secara tegas mengenai tugas, fungsi, wewenang, serta peran masing-masing warga negara.