REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Presiden Filipina Rodrigo Duterte membuka peluang bagi Indonesia untuk terlibat operasi militer dalam menggempur ISIS di Marawi, Filipina Selatan. Namun pemerintah Indonesia diingatkan untuk tidak bersikap reaktif.
“Pengiriman pasukan TNI tidak diatur dalam peraturan dan Undang-Undang,” ujar Wakil Ketua Komisi I DPR RI Tubagus Hasanuddin mengingatkan, Senin (3/7).
Politisi F-PDI Perjuangan itu menjelaskan, setidaknya ada tiga acuan peraturan perundang-undangan yang harus diperhatikan terkait hal ini. Pertama, jelas Hasanuddin, mengacu pada Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 alinea 4, disebutkan: ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.
Kemudian, lanjut Hasanuddin, masih dalam UUD 1945 pasal 30 ayat 3 UUD 1945, dijelaskan bahwa TNI sebagai alat negara bertugas mempertahankan, melindungi, dan memelihara keutuhan dan kedaulatan negara.
“Makna yang terkandung, yakni, TNI bertugas untuk mempertahankan, melindungi, dan memelihara keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI),” imbuh Hasanuddin.
Kedua, Pasal 10 ayat 3 butir d dalam UU No. 3 Tahun 2002 Tentang Pertahahan Negara memang menyebut bahwa TNI dapat ikut serta secara aktif dalam tugas pemeliharaan perdamaian regional dan internasional.
“Dalam penjelasannya, tugas TNI yang masuk dalam kategori operasi militer selain perang (OMSP) itu antara lain berupa bantuan kemanusiaan (civil misision). OMSP juga dilakukan berdasarkan permintaan atau perundang-undangan,” tegas Hasanuddin.
Hasanuddin menambahkan, kalaupun mau disinggung pada penjelasan soal wewenang TNI terkait dengan operasi militer selain perang (OMSP) sebagaimana yang termaktub dalam butir b ayat 6 yang menyebut TNI memiliki tugas untuk melaksanakan menciptakan perdamaian dunia sesuai dengan kebijakan politik luar negeri, maka ada hal yang mesti diperhatikan.
“Salah satunya, pengiriman satgas TNI dalam operasi perdamaian dibawah bendera PBB, harus mendapatkan persetujuan dari DPR RI, serta memperhatikan pertimbangan institusi lainnya yang terkait,” imbuhnya.
Ketiga, bila merujuk pada UU Nomor 34 Tahun 2004 Tentang TNI disebutkan dalam Pasal 7 ayat 1 bahwa tugas pokok TNI adalah menegakkan kedaulatan negara, mempertahankan keutuhan wilayah NKRI yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, serta melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia dari ancaman dan gangguan terhadap keutuhan bangsa dan negara.
Sehingga, jika mengacu pada tiga produk Undang-Undang di atas, maka sangat jelas bahwa pemerintah Indonesia tidak diperkenankan mengirim pasukan tempur. TNI hanya diizinkan melakukan penugasan dalam pasukan perdamaian di bawah bendera PBB.
“Walaupun Indonesia memang terikat dalam komunitas bangsa-bangsa ASEAN, tetapi ASEAN juga bukan merupakan pakta pertahanan bersama. Jadi Indonesia juga tidak punya dasar hukum untuk mengirim pasukan TNI ke negara-negara ASEAN termasuk Filipina,” ujar Hasanuddin.
Politisi asal dapil Jawa Barat itu menyarankan, bantuan Indonesia kepada Filipina dapat berupa bantuan logistik, pelatihan militer, alat kesehatan, atau data intelijen lainnya yang diperlukan angkatan perang Filipina.
“Lagi pula, berdasarkan hukum Filipina, operasi militer yang melibatkan negara lain harus mendapatkan persetujuan dari unsur parlemen mereka,” tutup Hasanuddin