REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- DPR tetap akan membahas RUU Perkelapasawitan sesuai dengan tahapan yang telah ditetapkan, meskipun Menteri Sekretaris Negara Pratikno telah mengirim surat permintaan kepada Menteri Pertanian Amran Sulaiman untuk menghentikan pembahasan RUU tersebut. Ketua Panitia Kerja (Panja) RUU Perkelapasawitan DPR RI Firman Soebagyo mengungkapkan, dirinya Jumat (7/7) lalu di telpon Deputi Bidang Hukum dan Perundang-Undangan Kementerian Sekretariat Negara (Kemsesneg) Muhammad Saptamurti.
Dalam komunikasi tersebut, Saptamurti mengatakan bahwa dalam surat tersebut Mensesneg tidak bermaksud untuk menghentikan tahapan penyusunan RUU Perkelapasawitan. Tapi hanya menyampaikan pendapat yang disampaikan LSM kepada Menteri Pertanian.
"Jadi itu klarifikasi pihak Kemsesneg kepada saya. Tapi ini juga tidak benar, karena dalam surat itu (pembahasan RUU) minta dihentikan. Di mana isi surat sama seperti yang disampaikan LSM. Apalagi surat tersebut surat resmi di atas kop Kementerian Sekretariat Negara RI," kata Firman.
Menurut Firman, RUU ini sudah dibahas dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas). RUU Perkelapasawitan yang sudah masuk dalam daftar Prolegnas ini telah disetujui oleh presiden atau pemerintah yang dalam hal ini diwakili Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham).
Oleh karena itu, lanjutnya, pemerintah tidak boleh melakukan intervensi RUU Perkelapasawitan yang merupakan hak inisiatif dewan ini.
"Karena itu mandat konstitusi. Apalagi yang menjadikan kami sedikit marah, RUU ini masih diharmonisasi di Badan Legislasi (Baleg), belum disyahkan sebagai RUU inisiatif, tapi Mensesneg itu meminta Mentan memberhentikan pembahasan," katanya.
Ironisnya, ujarnya, argumentasi yang disampaikan Mensesneg itu karena permintaan LSM. Apalagi substansi yang disampaikan LSM itu tidak benar adanya.
"Ini bahaya kalau pejabat negara bisa diintervensi LSM. Kalau nantinya pemerintah tidak sepakat, harusnya nanti di pembahasan tingkat satu. Di situ nanti DPR akan berdebat dengan pemerintah. Karena setiap UU itu harus ada naskah akademik dan draf RUU. Naskah dan draf RUU itu hasil kajian dan serapan aspirasi masyarakat," katanya.
Firman juga tidak setuju dengan tuduhan RUU ini overlaping dengan UU Perkebunan. Karena UU Perkebunan itu mengatur 127 komoditi, sementara itu, UU ini mengatur khusus tentang kelapa sawit.
"Oleh karena itu, untuk menyelesaikan perkelapasawitan perlu sebuah UU yang sifatnya lex specialis. Karena sawit itu sudah memberikan kontribusi terhadap negara berupa devisa yang jumlahnya Rp300 triliun per tahun atau sudah di atas penerimaan negara dari sektor minyak dan gas bumi," katanya.
Selain itu, sawit itu juga terbukti bisa mengatasi kesenjangan ekonomi masyarakat di Pulau Jawa dan luar Jawa. Di sisi lain ada juga persoalan petani dan masyarakat adat yang perlu ditata ulang dan diatur karena banyaknya lahan milik masyarakat yang dihutankan kembali oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK).
"Ada 1,7 juta hektare (ha) lahan milik petani di Riau statusnya belum jelas. Di sisi lain yang namanya sawit ini dihadapkan pada kompetitor Malaysia yang sudah punya UU yang lebih rigid, sedangkan pasar CPO dunia itu yang menguasai Indonesia," katanya.
Firman yang juga Anggota Komisi IV DPR ini menegaskan, jika Indonesia tidak segera memiliki regulasi, maka tak menutup kemungkinan akan digeser Malaysia sehingga potensi penerimaan negara akan mengalami penurunan.
Di sisi lain, dengan UU ini akan mengatur hulu-hilir perkelapasawitan nasional. "Termasuk pemerintah itu harus punya grand startegy atau roadmap sawit nasional," katanya.
Untuk itu, Wakil Ketua Baleg DPR ini meminta Mentan Arman Sulaiman tidak perlu merespon dan menidaklanjuti surat instruksi Mensesneg tersebut.