REPUBLIKA.CO.ID,
JAKARTA -- Anggota Komisi IV DPR RI, Herman Khaeron, menanggapi aksi impor garam dari luar negeri untuk mengatasi kelangkaan garam. Menurut dia, garam adalah komiditas yang stabil di pasar, tetapi selalu jatuh harganya d tingkat petani.
Sejalan dengan curah hujan yang tinggi sejak 2016, bahan baku garam dalam negeri kekurangan. "Total kebutuhan garam sekitar 4,2 juta ton, untuk kebutuhan konsumsi 1,7 juta ton, dan kebutuhan industri 2,5 juta," ujar Herman, saat dihubungi melalui pesan singkat, Rabu (2/8).
Dia mengatakan, ada sejumlah kekurangan dan kelemahan produksi garam Indonesia yakni kadar airnya tinggi, kadar natrium klorida-nya belum maksimal, tingkat kebersihan rendah, dan harganya mahal. Mahalnya produksi garam dalam negeri lantaran skala usaha terlalu kecil dengan rata-rata lahan pengusahaan.
Selain itu, kata Herman, banyak lokasi produksi garam yang tak ideal terletak di daerah curah hujan tinggi, tingkat kelembapannya tinggi, dekat muara sungai yang mengakibatkan tingkat salinasi atau kadar garam lautnya rendah dan kotor. Di samping itu, banyak lokasi produksi yang letaknya jauh dari pusat distribusi logistik serta teknologi yang digunakan sudah ketinggalan.
Dalam UU Nomor 7 Tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudidaya Ikan, dan Petambak Garam diatur bahwa petambak garam harus dilindungi karena mereka paling rentan oleh tengkulak karena pemain garam tidak banyak. Harga garam pada saat pasar garam normal antara Rp 2.000 sampai dengan Rp 2.300 per kilogram. Saat ini harga melonjak menjadi Rp 6.000 hingga Rp 7.000 per kilogram. "Harga setinggi ini juga membuat harga biaya produksi nelayan semakin meningkat untuk ikan asin, teri, pindang dan lainnya," kata dia.
Herman menyebut, saat ini pemerintah sedang mendorong program Pengembangan Usaha Garam Rakyat (Pugar). Pemerintah juga berupaya membangun gudang garam berstandar nasional, dan akses permodalan bagi usaha petambak garam. Sayangnya masih ada masalah dan kendala yang dihadapi yakni cuaca, sarana dan prasarana yang kurang memadai, teknologi terbatas, dan masih banyaknya impor garam yang merembes ke pasar sehingga memukul harga garam petani.
"Demikian pula dengan masalah industri garam nasional, produksinya yang kurang banyak, kualitasnya yang kurang baik, dan harganya yang tidak kompetitif," kata Herman.