REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Anggota Komisi VII Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI), Joko Purwanto menemukan adanya kebijakan di Kalimantan Barat yang saling tumpang tindih antara sektor pertambahan dengan sektor pertanian, dalam hal ini perkebunan kelapa sawit. Hal itu terungkap saat Komisi VII menyerap aspirasi dari para pelaku penambangan di Kalbar terkait rencana revisi undang-undang No.4 tahun 2009.
"Banyak aspirasi yang kami terima dari perusahaan pertambangan di Kalimantan Barat ini yang berguna dalam menambah khasanah undang-undang minerba yang akan kami revisi," ujar Joko Purwanto dalam siaran pers yang diterima Republika.co.id, Senin (27/11).
Selain permasalahan kewajiban pembuatan smelter, perusahaan tambang juga mengeluhkan masalah sulitnya melakukan penambangan yang katanya berada di lahan perkebunan kelapa sawit. Padahal IUP (ijin usaha pertambangan) sudah mereka pegang. Akibatnya, kata Joko, mereka tidak dapat melakukan penambangan
Politikus Partai Persatuan Pembangunan ini menilai sejatinya pemberian IUP juga harus melihat faktor lainnya, seperti adanya perkebunan sawit di dalamnya. Atau sebaliknya, pemberian ijin kelapa sawit harus melihat apakah di lahan tersebut sudah dikeluarkan IUP.
"Kebijakan yang tumpang tindih ini seharusnya tidak akan terjadi jika ada kordinasi dan komunikasi antarSKPD (satuan kerja perangkat daerah) terkait," tambahnya.
Hal ini, sambung Joko, diyakininya juga terjadi di daerah lain. Oleh karena itu pihaknya akan menampung masukan-masukan tersebut. Kemudian akan dibahas dan diharmonisasi bersama dengan seluruh pimpinan dan anggota Komisi VII DPR RI.