REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wakil Ketua Komisi VII Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Herman Khaeron, menyampaikan PT Dirgantara Indonesia mengalami kekurangan anggaran hingga Rp 81,6 miliar dalam proyek pesawat perintis N219 Nurtanio. Menurut Khaeron, anggaran sebanyak itu dibutuhkan untuk membiayai serangkaian flight test (uji terbang) yang akan dilakukan di tahun 2018. Flight test perlu dilakukan untuk mendapatkan sertifikasi layak terbang sehingga pesawat dapat dipasarkan.
Khaeron mengatakan, riset pesawat N219 dikerjakan Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN), sedang purwarupa pesawat dibuat PT Dirgantara Indonesia. Saat ini, tutur Herman Khaeron, hanya tersedia anggaran sebesar Rp 37 miliar. Dia berharap penyelesaian proyek pesawat N219 tidak lagi mengalami masalah dan PT Dirgantara Indonesia dapat segera mengurus komersialisasi pesawat itu.
"Oleh karena itu, kekurangan anggaran akan dibahas dalam rapat pembahasan APBN Perubahan nanti," jelas Politikus Partai Demokrat, dalam siaran persnya, Sabtu (30/12).
Menurutnya, pesawat N219 merupakan karya anak bangsa sehingga perlu dapat dukungan semua pihak. Dia juga berharap agar proyek itu tidak hanya berhenti pada riset, tetapi harus sampai ke komersialisasi. Lanjutnya, sebagai negara dengan ribuan pulau, Indonesia wajib memiliki industri kedirgantaraan. Hal itu dapat menjamin interkoneksi antarpulau yang lebih cepat, efisien, dan efektif.
"Kalau tidak punya pabriknya (pesawat) maka kita hanya akan menjadi market bagi negara lain," kata Kang Hero, sapaan akrab ungkap Khaeron.
Kemudian Khaeron juga memaparkan, pesawat N219 dapat mengangkat beban lebih berat ketimbang pesawat sejenis buatan negara lain. Komponen pesawat sekitar 55 persen berasal dari dalam negeri. Namun, kata dia, hanya mesin masih tergantung kepada negara lain. Sehingga Ini harus menjadi industri strategis yang dikembangkan, didorong, dan didukung oleh fiskal yang memadai agar bisa melakukan aksi dan akselerasinya di bidang kedirgantaraan.
Sementara Direktur Utama PT Dirgantara Indonesia, Budi Santoso, memaparkan bahwa pesawat N219 dapat mengangkut 19 penumpang, bisa juga memuat kargo setara 2,3 ton barang seperti untuk distribusi logistik.
Budi mengatakan, keuntungan lain dari proyek pengembangan pesawat perintis ini, Indonesia memiliki satu siklus pengalaman mendesain pesawat dari nol. Menurutnya, kemampuan ini tidak dimiliki semua negara. Hanya negara tertentu yang punya kemampuan ini.
"Indonesia salah satunya. Kita punya pengalaman lengkap dari industri ini. PT DI melibatkan 108 engineer untuk merancang pesawat N291 di luar pekerja yang membangun pesawat. Proyek ini juga untuk regenerasi," tutupnya.