REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua DPR RI Bambang Soesatyo pada acara laporan tahunan KPK 2017, Senin (12/3), menyebutkan demokrasi di daerah sering berakhir duka. Banyak pejawat dan calon kepala daerah lainnya terjaring operasi tangkap tangan (OTT) KPK karena melakukan tindak pidana korupsi. Begitu juga kepala daerah yang sedang menjabat banyak yang ditetapkan tersangka karena mengorupsi dana APBD.
Dia menilai pilkada langsung dinilai lebih banyak mudaratnya daripada manfaatnya. Menurut politisi Golkar itu, mengembalikan pilkada ke sistem perwakilan bukanlah kemunduruan demokrasi.
Sayangnya, masyarakat kerap memobilisasi opini yang menyerang DPR sebagai pembuat kebijakan yang tidak populis. Untuk itu, kata Bamsoet, KPK perlu bersuara yang seirama dengan DPR soal wacana mengembalikan pilkada ke sistem perwakilan. Ini semangatnya untuk memerangi korupsi.
“Ini semua karena biaya yang dikeluarkan untuk merebut posisi dalam pilkada luar biasa mahal. Tidak ada yang bisa diharapkan dari seorang kepala daerah dengan biaya puluhan bahkan ratusan miliar itu bisa bekerja dengan baik untuk rakyat. Ini masukan bagi KPK. Dan kita harus pikirkan sebagai anak bangsa yang punya tanggung jawab bersama, bagaimana kita mencegah bahkan menghentikan praktik-praktik transaksional ini,” ucap Bamsoet di hadapan pimpinan KPK dan lembaga tinggi negara lainnya.
Dia mengajak KPK melakukan kajian mendalam soal korupsi yang dilakukan para kepala daerah. Bila DPR yang menyampaikan kajian itu, kurang direspons positif oleh publik. Sementara, bila KPK langsung yang menyampaikan hasil kajian tentang korupsi di daerah, pasti didengar dan direspons positif publik. Kajian itu menghendaki agar pilkada diserahkan saja ke DPRD setempat dan tidak lagi digelar secara langsung.
“Pilkada langsung punya implikasi buruk bagi masa depan bangsa kita,” kata Bamsoet.
Dalam konteks ini, sila keempat Pancasila mengamanatkan agar pemilihan kepala daerah diserahkan kepada sistem perwakilan. Dengan cara tak langsung ini, pihaknya percaya korupsi bisa dicegah dan berkurang drastis. “Keputusan pilkada tidak langsung sudah kita putuskan jelang berakhirnya kepemimpinan Pak SBY. DPR sudah ketuk palu. Lalu, pemerintah membatalkan melalui perppu. Akhirnya dikembalikan ke pemilihan langsung,” kata Bamsoet.