REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat (Korkesra) Fahri Hamzah angkat bicara soal nasib dokter Terawan Agus Putranto yang dipecat oleh organisasi profesi Ikatan Dokter Indonesai (IDI). Dia mengaku heran dengan sanksi pemecatan terhadap dokter spesialis radiologi dari RSPAD Gatot Subroto, selama 12 bulan.
Saat ditanya oleh awak media di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Kamis (5/4), Fahri justru mengingatkan bahwa urusan pemecatan dokter Terawan harus pas dibahas di ranah profesi kedokteran terlebih dahulu dan tidak boleh menyeret ornamen kekuasaan. "Maksud saya kan dokter Terawan, dokternya presiden dan Kepala RSPAD Gatot Soebroto pula. Artinya kalau orang dipecat nangani presiden gimana? Kan itu harus dianggap persoalan serius," kata politikus Partai Keadilan Sejahtera (PKS) itu.
Oleh karena itu, Fahri mengimbau agar persoalan dokter Terawan direkonsiliasikan di IDI sebagai organisasi profesi dokter. Sebagaimana mungkin di asosiasi lainnya seperti lawyer, misalnya PERADI atau lainnya.
"Jadi itu yang harus dilakukan oleh pihak IDI atau lembaga terkait yang memberi sanksi kepada doketr terawan Agus Putranto itu," imbuhnya.
Di sisi lain, Fahri juga mendorong Majelis Kehormatan Etik Kedokteran (MKEK) IDI buka-bukaan soal permasalahan yang menimpa dokter Terawan tersebut. Apalagi ini sudah melibatkan dokter pribadi presiden.
"Jadi, harus duduk dong menteri kesehatannya, direkonsiliasi mau apa ini. Tidak boleh intervensi hal yang sifatnya scientific. Tapi maksud saya, kalau ini dianggap dua aliran pemikiran, ya, aliran pemikiran," tambahnya lagi.
Menurut anggota DPR dari daerah pemilihan Nusa Tenggara Barat (NTB) itu, keduanya harus dipanggil apakah metode tersebut yang diuji di IDI. Sebab yang dia dengar ada tiga lapisan penguji, setelah itu baru metode tersebut di bawah ke kedokteran Rumah Sakit Umum.
"Tapi kalau hal itu tidak dilakukan, maka jadinya dia jualan bahkan jadi bermasalah. Kadang kala, sebuah riset yang sukses itu diekpose-diumumkan, tapi yang gagal malah tidak diekpose atau tidak diumumkan. Akhirnya, justru yang menanggung beban itu adalah dokter-dokter umum juga," kata Fahri.
Karena itu lanjut Fahri lagi, kalau mau disinkronkan maka jangan terlalu menggunakan otoritas kekuasaan, mengingat ada dua pertentangan antara dua aliran pemikiran kesehatan. Pertama, aliran yang alternatif seperti dr Terawan, dan aliran baku seperti organisasi profesi seperti IDI.
"Biarkan teman-teman dokter ini secara profesi membangun dialog dengan standar etika yang mereka punya, tapi jangan terlalu dipaksa oleh negara yang kemudian dapat menghilangkan akademik mereka," ujarnya.
Fahri pun berharap agar profesi kedokteran bersifat aspiratif dan fair dalam melakukan dialog supaya terbuka dan masyarakat tahu di Indonesia memiliki standar kedisiplinan yang tinggi untuk menjaga praktek kedokteran.
Sebelumnya dr Terawan dikenal sebagai dokter yang memperkenalkan metode cuci otak yang disebut DSA yang diklaim berhasil menyembuhkan penyakit stroke. Namun metode ini masih menuai kontroversi di sejumlah kalangan terutama bagi profesi dokter syaraf. Oleh karena itu MKEK (Majelis Kehormatan Etik Kedokteran) mengeluarkan surat pemecatan Terawan dari keanggotaan IDI tertanggal 23 Maret 2018.