REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Anggota Komisi X DPR RI Noor Achmad menegaskan, agar sarana laboratorium IPA di seluruh Sekolah Menengah Atas (SMA) yang ada di Manokwari, Papua Barat, harus diperbaiki sesuai standar. Berdasarkan hasil tinjauan langsung Komisi X DPR RI ke SMAN 2 Manokwari, didapati laboratorium sekolah belum mumpuni.
Menurut Noor, peralatan pendidikan, seperti laboratorium adalah sarana mutlak yang harus dipenuhi. “Mata pelajaran IPA akan lebih mudah dipahami dengan simulasi praktik di laboratorium. Laboratorium IPA itu masih sangat minim sekali, bahkan bahan-bahannya tidak ada. Mereka harus bekerja sama dengan Universitas Papua (UNIPA). Oleh karena itu, kami berharap alat-alat laboratorim bisa diperbanyak di sini,” ujar Noor saat mengikuti Kunjungan Kerja Komisi X DPR RI ke Manokwari, Papua Barat, Senin (30/4).
Politikus Partai Golkar ini juga mengkritisi pelaksanaan Ujian Nasional Berbasis Komputer (UNBK). “Catatan saya yang memang perlu dikatahui publik, terutama Kemendikbud, pertama UNBK di sini meskipun bisa berjalan dengan baik, servernya masih kurang dan listriknya kadang-kadang padam,” kata Noor.
Padahal, menurutnya, SMAN 2 Manokwari ini termasuk SMA yang dinilai paling maju dibanding lainnya yang ada di daerah setempat, tapi masih ada kekuarangan sarana-prasarana mengajar. “Maka dari itu, ini harus menjadi afirmasi dari Kemendikbud agar ketertinggalan SMA yang ada di Papua Barat ini bisa sejajar dengan SMA yang lain yang sudah maju,” ujar Noor.
Menurutnya, konsekuensi dari ketertinggalan ini harus ada toleransi bagi pelajar di Papua Barat dalam ujian seleksi masuk perguruam tinggi ternama. “Harus ada toleransi bagi yang akan masuk perguruan tinggi, karena dari SMAnya saja sudah kurang,” kata Noor.
Kemudian persoalan guru di Manokwari, di daerah ini juga masih banyak guru yang bukan Aparatur Sipil Negara (ASN). Terlebih lagi tugas guru dan laboran (guru praktik di laboratorium) tidak dipisahkan, ini menyebabkan ketidakprofesionalan pembagian kerja.
“Gurunya masih sangat minim, banyak guru yang bukan ASN. Bahkan tadi banyak guru yang merangkap menjadi laboran. Ini tidak boleh, seharusnya seorang guru ya guru. Laboran ya laboran. Dengan demikian mereka bisa konsentrasi untuk menata laboratoriumnya,” ujar politikus dapil Jawa Tengah itu.