REPUBLIKA.CO.ID, Penyakit jantung koroner masih menjadi pembunuh manusia nomor satu di Indonesia, bahkan di dunia. Data terakhir dari Badan Kesehatan Dunia (WHO) menyebutkan, 60 persen dari seluruh kematian atau sekitar 7,2 juta jiwa meninggal akibat jantung koroner dan serangan jantung mendadak. “Intinya semua pengobatan yang ada untuk jantung koroner berfungsi memperlebar jalur arteri (pembuluh darah) sehingga aliran darah bisa kembali lancar,” ujar dr Muhammad Zaini Sp JK (K) FIHA.
Penyebab jantung koroner adalah penumpukan zat lemak secara berlebihan di lapisan dinding nadi pembuluh koroner. Kondisi ini dipengaruhi oleh pola makan yang kurang sehat. Pengobatan untuk penyakit itu dapat dilakukan dengan berbagai cara tanpa operasi.
Salah satunya dengan kateterisasi jantung (angioplasti koroner). Tindakan ini diikuti dengan PTCA (Percutaneus Transluminal Coronary Angioplasti) ataupun PCI (Percutaneus Coronary Intervention). Ketiga prosedur ini sebenarnya hanya bertindak melebarkan pembuluh darah koroner yang menyempit atau tersumbat. “Penyempitan atau sumbatan pada pembuluh darah selain bisa melahirkan serangan jantung, juga akan menimbulkan angina (nyeri pada dada) dan penyakit lain yang berhubungan dengan jantung,” kata Zaini.
Penyempitan ataupun sumbatan pembuluh darah, sebenarnya hasil dari proses bertahun-tahun peradangan kronis pembuluh darah koroner, yakni terbentuknya endapan di pembuluh darah yang disebut plak aterosklerosis. Proses ini awalnya berjalan diam-diam, tidak menimbulkan gejala klinis sehingga seseorang tidak akan merasakan apa yang terjadi di dalam dinding pembuluh darahnya.
Serangan jantung atau angina merupakan puncak dari perjalanan panjang penumpukan plak. Jika ada faktor risiko penyakit jantung koroner lainnya, seperti merokok, kegemukan, kurang beraktivitas, atau ada riwayat keluarga, maka proses penumpukan plak lemak berkembang lebih cepat.