REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sejumlah pakar pangan menilai pemerintah harus mempertahankan program beras untuk masyarakat miskin (Raskin) serta meningkatkan kualitas dan kadar gizi beras tersebut.
Wakil Rektor Institut Pertanian Bogor (IPB) Prof Hermanto Siregar mengatakan, rakyat miskin itu karena kemiskinannya sehingga gizinya tidak bagus, misalnya kekurangan zat besi, yodium, vitamin A. "Karena itu, kualitas Raskin perlu ditingkatkan, misalnya dengan fortifikasi untuk mengatasi zat-zat gizi yang kurang itu," katanya.
Penambahan kadar gizi dan vitamin dalam Raskin sangat positif, karena rakyat miskin tidak bisa memenuhi kebutuhannya itu, sehingga kerap terserang penyakit akibat kekurangan zat tersebut.
"Kalau disuruh beli beras yang harganya mahal, mereka tidak mampu. Jadi Raskin ini disubsidi untuk membantu rakyat miskin, dan kualitas beras dapat ditingkatkan dengan fortifikasi. Jadi saya kira ini suatu yang bagus dan perlu dikembangkan," ujarnya.
Hermanto menyatakan, IPB juga mempunyai terobosan untuk membantu pemerintah guna mengatasi kelangkaan beras di sejumlah daerah, yakni pembuatan beras analog atau "beras" yang dihasilkan dari berbagai umbi-umbian yang ada di seluruh penjuru Indonesia.
Menurut dia, produksi padi semakin turun, maka perlu dikembangkan beras analog dari umbi-umbuan yang diolah, kemudian bentuk dan rasanya dibuat seperti beras.
"Saat diolah, di situ fortifikasi dilakukan," ujarnya.
Diversifikasi pangan merupakan upaya mengembalikan makanan pokok rakyat Indonesia ke makanan pokok sebelumnya, seperti warga Papua yang makanan pokoknya umbi-umbian dan warga Madura yang mensubtitusi makanannya dengan jagung, demi mengurangi ketergantungan terhadap beras.