REPUBLIKA.CO.ID, Di dunia, termasuk di Indonesia, anak perempuan masih menjalani tindakan penyunatan. Anak perempuan Afrika bahkan menjalani praktik sirkumsisi dengan pemotongan klitoris, yang merupakan bagian dari tradisi.
WHO (World Health Organization) menggolongkan tindakan ini sebagai female genital mutilation (FGM), tindakan yang berbeda dengan sunat pada pria (male circumcision). Merujuk pada WHO, FGM memiliki empat jenis metode.
Metode pertama adalah clitoridectomy, yaitu pemotongan kulit di sekitar klitoris atau bagian yang bila ada pada penis disebut sebagai preputium, dengan atau tanpa mengiris/menggores bagian atau seluruh klitoris.
Metode kedua disebut sebagai excision, berupa pemotongan klitoris disertai pemotongan sebagian atau seluruh labia minora. Yang ketiga adalah infibulation, berupa pemotongan bagian atau seluruh alat kelamin luar disertai penjahitan/penyempitan lubang vagina (infibulasi).
Sementara metode terakhir berupa segala macam prosedur yang dilakukan pada genital untuk tujuan non-medis, penusukkan, perlubangan, atau pengirisan/penggoresan terhadap klitoris.
Di Indonesia sendiri, praktik FGM yang kerap disebut sebagai sunat perempuan ini terbagi dalam simbolik, yang berarti tidak ada penggoresan (insisi) atau penghilangan bagian (eksisi), dan praktik yang tergolong berbahaya, yaitu melakukan insisi atau eksisi sebagian jaringan organ genital.
Berdasarkan hasil penelitian Population Council di enam provinsi di Indonesia pada 2001-2003, 28 persen masyarakat Indonesia melakukan sunat perempuan secara simbolik. “Praktik FGM simbolik ini biasanya dilakukan dengan melakukan sedikit goresan pada klitoris dan tidak membuang apapun. Tapi ada juga yang melakukannya benar-benar simbolis, misalnya bidan hanya menempelkan gunting di daerah labia minora,” tutur Dr Rudy Sutedja, Sp. B dari RS Siloam Kebon Jeruk, seperti dikutip dari www.parentsindonesia.com.