REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Berbicara mengenai Disfungsi Ereksi (DE), umumnya penderita DE merasa malu untuk memeriksakan kondisinya ke dokter. Disfungsi Ereksi masih dianggap hal yang tabu untuk diperbincangkan. Data survei Decision Fuel (2013) oleh Pfizer menunjukkan, 59 persen responden pria di Indonesia kurang nyaman bahkan tidak ingin berbicara dan berkonsultasi dengan dokter.
Disfungsi ereksi merupakan kondisi dimana terdapat ketidakmampuan alat vital pria untuk mencapai dan mempertahankan kondisi ereksi untuk melakukan hubungan seksual secara memuaskan. World Health Organization (WHO) menyebutkan, gejala tidak mampunya penis untuk ereksi baru bisa dikatakan sebagai DE jika berlangsung selama tiga bulan. Disfungsi ereksi merupakan gangguan seks terbanyak yang dialami pria di dunia. Perkiraan angka tersebut mencapai 100 juta pria pada usia 40-80 tahun. Namun demikian, bukan berarti pria di bawah 40 tahun tidak bisa mengalaminya.
Psikolog Seksual, Zoya Amirin, mengatakan tidak perlu merasa malu dan menyimpan masalah sendiri ketika mengalami kegagalan dalam berhubungan seksual akibat DE. Tidak sedikit, penderita DE menyimpan masalahnya sendiri dan akhirnya mencari informasi dari sumber yang tidak terpercaya. Akibatnya, masalah DE tidak bisa diatasi dan menjadi lingkaran setan bagi penderitanya.
"Masalah DE penting untuk diperhatikan. Karena jika dibiarkan, dapat berdampak pada penurunan kualitas hidup," terangnya.
Ia menjelaskan, kesehatan seksual penting untuk diperhatikan karena bisa mempengaruhi keharmonisan rumah tangga. Dalam hal ini, masing-masing pasangan sebaiknya memahami tingkat kepuasan seksual mengingat hal itu dapat mempengaruhi kuaitas hidup. Misalnya, kondisi fisik dan non fisik (psikis) yang mendukung aktifitas sehari-hari.
Dalam berhubungan seksual, istri cenderung menyalahkan suami ketika terjadi kegagalan. Hal ini menyebabkan suami menjadi tidak percaya diri dan minder. Akibatnya, suami kurang memiliki semangat dalam melakukan aktifitas atau pekerjaannya. Bahkan tidak jarang, masalah DE yang dialami pria menyebabkan depresi dan stres baik dalam pribadinya maupun hubungan interpersonal. Hal itu berpengaruh pada psikologis suami seperti mudah marah dan sensitif.
Zoya menerangkan, urusan selain masalah hubungan seksual dapat mengganggu keharmonisan rumah tangga sekitar 30-40 persen. Namun jika sudah menyangkut urusan hubungan seksual, hal itu dapat berpengaruh sekitar 70 persen pada kehidupan suami istri.
Karena itu menurutnya, komunikasi antar pasangan menjadi penting dilakukan dalam pengobatan disfungsi ereksi. Sang istri harus mampu mengkomunikasikan kepada suaminya, jika merasa ada ketidakpuasan seksual karena ereksi yang tidak optimal. Sementara suami harus menerima, agar segera konsultasi ke dokter dan dilakukan terapi untuk mencegah penyakit semakin parah. Sebaiknya, kedua belah pihak baik suami maupun istri datang untuk berkonsultasi ke dokter. Disfungsi ereksi bukanlah vonis terakhir bagi pria, karena ada solusi yang dapat membantu mengatasi gangguan tersebut. Hal itu tentunya dengan diagnosis dan penanganan yang tepat.