Ahad 25 Feb 2018 18:34 WIB

Tekan Kematian Ibu, Kesehatan Primer Harus Ditingkatkan

Kematian ibu terjadi pada dua hari pertama usai melahirkan.

Rep: Wahyu Suryana/ Red: Yusuf Assidiq
Direktur Kesehatan Keluarga Kementerian Kesehatan, Eni Gustina, menerima cenderamata dari Rektor UAA, Hamam Hadi.
Foto: Dokumen.
Direktur Kesehatan Keluarga Kementerian Kesehatan, Eni Gustina, menerima cenderamata dari Rektor UAA, Hamam Hadi.

REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA -- Walau 90 persen ibu melahiran di fasilitas kesehatan primer, angka kematian ibu dan angka kematian banyi masih tinggi. Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) 2012 mencatat, angka kematian ibu mencapai masih 359 per 1.000 kelahiran hidup.

Hal itu diungkapkan Direktur Kesehatan Keluarga Kementerian Kesehatan, Eni Gustina, pada International Conference on Healt Alma Ata University 2018 di Yogyakarta. Ia menjelaskan, kematian ibu terjadi pada dua hari pertama usai melahirkan.

"Itu terjadi karena setelah melahirkan tidak mendapat pengawasan yang memadai, seharusnya usai melahirkan ibu harus mendapat pengawasan, setiap enam jam harus dicek atau dikontrol, kalau terjadi kematian berarti kontrol petugas masih kurang," kata Eni, Ahad (25/2).

Untuk bayi, ia menjelaskan, kematian banyak terjadi pada pekan-pekan pertama setelah melahirkan. Hal itu dikarenakan setelah bayi dilahirkan, tidak mendapatkan pengawasan dari bidan atau tenaga kesehatan.

Seharusnya, lanjut Eni, bidan setelah menolong persalinan tidak boleh langsung lepas, tapi harus ada kunjungan satu, dua dan tiga. Kunjungan satu dilakukan sebelum 24 jam, kunjungan kedua 24 jam sampai tiga hari dan kunjungan ketiga tiga sampai tujuh hari.

Kunjungan itu demi melihat kondisi terkini, agar bayi tidak sampai mengalami komplikasi. Menurut Eni, bidan, perawat, dokter atau tenaga kesehatan lain bertanggung jawab atas keselamatan bayi.

"Kita tidak bisa mengandalkan bidan saja, bahkan dokter banyak yang tidak aware, dokter yang bekerja di puskesmas jika menganggap pemantau terhadap bayi yang baru lahir hanya merupakan tugas bidan, salah, seharusnya tanggung jawab dokter," ujar Eni menegaskan.

Untuk itu, ia menekankan, demi menekan angka kematian ibu dan bayi perlu dilakukan satu perbaikan dalam pelayanan kesehatan primer. Hal ini harus mendapat perhatian serius untuk mewujudkan rencana strategi Kementerian Kesehatan 2030.

"Yaitu, angka kematian ibu sebesar 70 per 1.000 kelahiran hidup, dan angkat kematian ibu tidak boleh lebih dari 140 per 1.000 kelahiran hidup secara global," kata Eni.

Senada, Rektor Universitas Alma Ata, Hamam Hadi mengungkapkan, angka kematian ibu dan bayi Indonesia masih tertinggi dibandingkan negara-negara seperti Thailand dan Singapura. Namun ia mengakui jika dalam perkembangannya angka itu mengalami penurunan.

Tapi, ia mengingatkan, untuk dapat mewujudkan target angka kematian ibu 70 per 1.000 kelahiran hidup, perlu ada tiga perbaikan. Mulai penguatan pelayanan kesehatan primer, penerapan pendekatan pelayanan berkelanjutan, dan intervensi berbasis risiko kesehatan.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement