REPUBLIKA.CO.ID, LONDON -- Sebuah penelitian terbaru di Inggris memperkuat teori yang menyebutkan peningkatan kadar hormon seksual seperti esterogen dalam rahim memiliki peran dalam resiko autisme. Sebelumnya, studi melibatkan konsentrasi hormon seks pria yang lebih tinggi, yaitu androgen dalam meningkatkan kmungkinan gangguan spektrum.
Temuan ini telah membantu menjelaskan mengapa autisme cenderung terjadi pada anak laki-laki dibandingkan perempuan. Namun, dalam penelitian terbaru yang dilakukan oleh tim dari Universitas Cambridge, Inggris terlihat bahwa paparan hormon estrogen tingkat tinggi di dalam rahim juga dapat meningkatkan kemungkinan autisme.
Dalam studi oleh tim yang dipimpin oleh Simon Baron-Cohen dan rekan-rekannya, dilakukan pengujian sampel cairan ketuban dari 98 orang yang diambil oleh Danish Biobank, tempat penyimpanan sampel ketuban dari lebih dari 100 ribu kehamilan. Dari sana, diketahui 98 orang berpotensi mengembangkan gangguan spektrum autisme.
Para peneliti mengatakan telah melihat secara khusus kadar amniotik dari empat hormon mirip estrogen. Mereka juga membandingkan tingkat 98 orang dengan autisme dengan mereka yang memiliki sampel amniotik dari 177 orang yang tidak memiliki kelainan tersebut.
Kali ini, tim peneliti menemukan hubungan yang lebih kuat dengan autisme daripada yang terlihat pada hormon seks pria tingkat tinggi. Temuan terbaru ini mendukung gagasan bahwa peningkatan hormon steroid seks prenatal adalah salah satu penyebab potensial untuk kondisi tersebut.
"Genetika sudah mapan sebagai penyebab lain dan hormon-hormon ini kemungkinan berinteraksi dengan faktor genetik untuk memengaruhi perkembangan otak janin,” ujar Baron-Cohen dalam sebuah pernyataan melalui rilis dilansir Webmd, Selasa (30/7).
Ruth Milanaik, seorang ahli autisme yang sedang mengarahkan program tindak lanjut pengembangan saraf neonatal di Cohen Children's Medical Center, di New Hyde Park, New York, Amerika Serikat (AS) ikut meninjau temuan baru tersebut. Ia berpendapat bahwa memang ada sejumlah kemungkinan terjadinya autisme.
"Ini adalah studi besar yang membawa kita selangkah lebih dekat untuk memahami akar masalah ini, tetapi dengan segala cara itu bukan penyebab pasti. Penelitian lebih lanjut diperlukan di semua bidang untuk memahami sepenuhnya implikasi dari temuan ini,” jelas Milanaik.
Sementara itu, Baron-Cohen mengatakan bahwa pengujian kadar hormon rahim dalam kehamilan untuk mengukur risiko autisme di masa depan bukanlah tujuan dari penelitian itu. Ia menekankan bahwa tim peneliti ingin memahami autisme lebih lanjut. Ia juga menegaskan bahwa temuan dari studi ini tidak boleh digunakan untuk mengembangkan tes skrining dan sejenisnya.
Meski demikian, belum dapat dipastikan apa yang menyebabkan kadar hormon seks meningkat di dalam rahim. Dalam sebuah pernyataan, rekan penulis studi, Alex Tsompanidis, seorang mahasiswa pascasarjana di Cambridge mengatakan hormon-hormon yang meningkat ini biasanya bisa berasal dari ibu, bayi, atau plasenta.
“Langkah selanjutnya kita harus mempelajari semua sumber yang mungkin ini dan bagaimana mereka berinteraksi selama kehamilan,” kata Tsompanidis.
Temuan dari studi ini dipublikasikan secara daring pada Senin (29/7) kemarin di Molecular Psychiatry.