REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Anak-anak beranjak remaja senang membangun persahabatan. Orang tua kadang merasa buah hati mereka perlahan mulai meninggalkan mereka demi pertemanan.
Ini karena anak remaja sudah terprogram mulai membangun hubungan sebaya di luar keluarga. Koneksi ini sangat penting membentuk identitas, menunjukkan kemandirian, dan menemukan rasa penerimaan dan saling memiliki.
Dilansir dari US News, Kamis (20/9), penelitian yang diterbitkan dalam Jurnal Child Development Center diikuti 169 peserta berusia 15-16 tahun. Setiap tahun peserta diberi kuisioner untuk menilai tingkat kecemasan, depresi, dan kepercayaan diri.
Peneliti menemukan anak-anak yang menjalin persahabatan dengan orang sama sejak remaja mengalami tingkat kecemasan sosial dan depresi lebih rendah saat mereka berusia 25 tahun. Persahabatan yang dibina sejak remaja ini bisa erat dan mendalam, membuat remaja merasa mereka membutuhkan dan dibutuhkan teman.
Remaja masa kini menjalin pertemanan dengan bantuan media sosial, aplikasi chat, atau pesan singkat harian. Namun, ini bisa berkonsenkuensi negatif di mana remaja secara tak sadar membandingkan dirinya dengan teman yang mereka lihat melalui media sosial.
Laporan Pew Research Center menyebut 21 persen remaja pengguna media sosial di Amerika Serikat menilai mereka merasa buruk dari teman-teman mereka, dan 68 persen merasa mereka seperti melihat drama di media sosial. Remaja belajar tentang kejadian yang tidak mereka sangka sama sekali.
Ini menjadi kesempatan orang tua untuk masuk dan menetapkan batas zona bebas ponsel di rumah. Anak misalnya dilarang membawa ponsel ke meja makan, jam belajar, jam tidur. Atur berapa lama mereka boleh memegang ponselnya dan aturan sama berlaku bagi orang tua di rumah.
Terangkan kepada anak bahwa teman-teman mereka bukan hanya di dunia maya, melainkan juga di dunia nyata. Lebih baik mereka bergaul dengan teman bertatap muka dari pada di bercakap di media sosial.
Orang tua memahami pengaruh teman sebaya bisa mendorong remaja berperilaku buruk, seperti penggunaan narkoba, minum minuman keras, seks bebas, dan risiko mengemudi. Penelitian menggunakan teknologi pencitraan otak menunjukkan remaja yang mengalami tekanan teman sebaya lebih mungkin membuat keputusan berisiko, meski temannya tidak hadir secara fisik, hanya melalui ponsel.
Orang tua bisa membantu anaknya mengenal teman yang baik dan tidak baik. Beri anak pengertian bagaimana pertemanan positif dan negatif. Saat remaja memahami kekuatan itu, mereka bisa membuat keputusan terbaik untuk dirinya tanpa harus terus terpengaruh oleh teman.
Persahabatan remaja membantu anak belajar cara mengatasi konflik, melihat potensi diri, dan mengenali apa yang bisa dilakukan untuk orang lain. Mereka belajar betapa pentingnya meminta maaf dan memaafkan. Intinya, orang tua yang bisa menerima pertemanan anak mereka dengan tetap menjaga kedekatan dan komunikasi dengan anak, itu berarti menghormati persahabatan anak-anaknya.