REPUBLIKA.CO.ID, oleh Adysha Citra Ramadani
Ada banyak perubahan yang akan dialami perempuan setelah melahirkan. Merupakan hal yang normal bila perubahan-perubahan ini membawa pengaruh terhadap suasana hati (mood) perempuan. Namun, sejauh mana gangguan mood pada perempuan pascamelahirkan ini masih dianggap normal?
"Sepanjang periode postpartum sekitar 85 persen perempuan mengalami gangguan mood," ungkap dokter spesialis kedokteran jiwa dr Jiemi Ardian SpKJ kepada Republika.co.id.
Jiemi mengatakan sebagian besar perempuan pascamelahirkan mengalami gangguan mood yang bersifat sementara dan relatif ringan. Gangguan mood yang bersifat sementara dan ringan pascamelahirkan inilah yang disebut sebagai baby blues.
Baby blues terjadi karena adanya interaksi kompleks antara perubahan hormon, kerentanan genetik, faktor dukungan lingkungan, hingga riwayat gangguan medik dan psikiatri sebelumnya. Beberapa faktor lain yang dapat mempengaruhi kecenderungan perempuan untuk mengalami baby blues pascamelahirkan adlaah profil kepribadian.
Baby blues dapat dikenali dengan beberapa gejala seperti ketidakstabilan perasaan, fluktuasi mood yang cepat, iritabilitas dan kecemasan. Gejala-gejala yang muncul pada baby blues tidak akan sampai mengganggu hubungan serta fungsi yang terjalin antara ibu dan anak. Gejala-gejala ini memuncak pada hari keempat atau kelima setelah proses persalinan dan mereda dalam dua minggu.
"Karena baby blues akan mereda, biasanya tidak emmerlukan diagnosis khusus," lanjut Jiemi.
Perempuan pascamelahirkan perlu waspada bila gejala-gejala gangguan mood yang dialami menjadi lebih berat dan menetap lebih dari dua minggu. Bila hal ini terjadi, pemeriksaan lebih lanjut sebaiknya dilakukan untuk melihat ada atau tidaknya kemungkinan depresi postpartum.
"10-15 persen wanita (dengan gangguan mood) ini mengalami gangguan mood yang lebih menetap dan mengganggu. Ini yang disebut postpartum depression," jelas Jiemi.
Gejala depresi postpartum tidak berbeda dengan gejala depresi mayor secara umum. Beberapa gejala yang bisa ditemukan dalam depresi postpartum adalah kesedihan yang menetap, ketidakmampuan merasakan kesenangan, insomnia, kelelahan yang menetap, gangguan makan, pikiran tentang kematian atau bunuh diri, kecemasan, perasaan tidak ada harapan, atau penderitaan yang sangat berat. Kemunculan gejala-gejala ini turut mengganggu fungsi ibu dalam merawat bayi atau merawat diri sendiri.
Ada beberapa faktor yang dapat meningkatkan risiko perempuan untuk mengalami depresi postpartum. Faktor-faktor risiko tersebut meliputi adanya riwayat depresi, adanya riwayat depresi postpartum di kehamilan sebelumnya, atau mengalami depresi selama kehamilan.
Pengalaman hidup yang penuh dengan stres juga turut berkontribusi. Perawatan anak, dukungan sosial yang kurang hingga masalah ekonomi merupakan masalah yang sudah tervalidasi sebagai faktor risiko dari depresi postpartum.
Penanganan untuk depresi postpartum juga berbeda dengan penanganan untuk baby blues. Pada kasus baby blues, ibu dapat dibantu dengan dukungan psikososial dan penentraman hati. Salah satunya adalah pembagian peran dalam perawatan anak sehingga ibu memiliki waktu untuk beristirahat dan menjaga perubahan suasana hatinya.
"Olahraga, makan makanan seimbang, dan merawat diri juga dapat dijadikan pilihan untuk memperbaiki mood," tambah Jiemi.
Sedangkan pada kasus depresi postpartum, penanganan bisa diberikan melalui terapi non farmakologi dan terapi farmakologi. Pada ibu dengan depresi ringan hingga sedang, terapi non farmakologi yang bisa diberikan antara lain terapi kognitif dan perilaku atau terapi inter personal yang dilakukan oleh psikolog.
Keberadaan support group atau psikoedukasi juga dapat bermanfaat bagi ibu dengan depresi postpartum. Misalnya Mother Hope Indonesia yang merupakan support group bagi ibu dengan depresi postpartum.
Terapi farmakologi atau terapi dengan obat-obatan dibutuhkan oleh ibu dengan kondisi depresi yang berat dan ibu yang tidak menunjukkan respon terhadap terapi non farmakologi. Jiemi mengatakan obat yang biasanya digunakan adalah Antidepresan. Selain itu, bisa juga menggunakan beberapa vitamin.
"Namun pada prinsipnya membutuhkan pengobatan jangka panjang," tukas Jiemi.
Jiemi mengatakan ibu tidak perlu khawatir mengenai risiko gangguan ginjal, gangguan hati, hingga kecanduan akibat penggunaan obat jangka panjang. Hal tersebut, lanjut Jiemi, hanyalah mitos yang tidak dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya.
Jiemi mengatakan depresi postpartum perlu ditangani sesegera mungkin agar tidak mengganggu hubungan dan fungsi antara ibu dan anak. Semakin cepat ditangani, gejala dari depresi postpartum akan semakin cepat mereda.
"Jangan menunda untuk meminum obat obatan jika sudah ada pikiran membahayakan kepada ibu dan bayi. Menunda hal ini dapat berisiko sangat berat, yang tentunya tidak kita harapkan," terang Jiemi.