Ahad 18 Jul 2010 08:54 WIB

Mampir Sejenak di Kota Leluhur VOC

Rep: fitriyan zamzami/ Red: irf

REPUBLIKA.CO.ID, AMSTERDAM--Sukar menafikan hubungan emosional jika kita bertandang ke Belanda. Ada tempat-tempat yang menjadi `'prasasti hubungan benci tapi cinta'' di Belanda. Di sela acara peliputan `'penerbangan kembali Garuda Indonesia ke Belanda'', kami sempat mengunjungi `'prasasti hubungan benci tapi cinta'' Indonesia-Belanda itu. Tentu saja, kami juga menikmati Amsterdam, kota paling ramai di Belanda yang melestarikan romantisisme zaman para hippies.

Kami melewati sebuah jalan raya di kota Wassenaar, Provinsi Holland Selatan. Di sebelah barat jalan raya, di antara deretan pepohonan dan sepetak-dua petak rumah-rumah kecil, terlihat rumah-rumah mewah bergaya kuno yang berdiri sekitar seratus meter dari jalan. Hanya orang-orang paling kaya di Belanda yang tinggal di situ.

Kebanyakan mereka adalah keturunan petinggi-petinggi Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC), perusahaan dagang yang pernah memonopoli perdagangan di Hindia Belanda dari abad ke-17 sampai ke-19. Beralasan kiranya kalau menyimpulkan bahwa sebagian besar rumah-rumah mewah tersebut dibangun dengan uang hasil perdagangan rempah-rempah dari Maluku, Samudra Pasai, Malaka, dan Jawa.

Tak sampai 10 kilometer dari Wassenaar, ke arah utara, kami tiba di Provinsi Holland Utara. Orang-orang Belanda dari --dan hanya dari-- provinsi inilah yang mengadu nasib di Hindia Belanda dulu. Di sini pula, dulu, VOC bermarkas. Seandainya Multatuli tak menulis Max Havelaar, seantero negeri Belanda tak akan paham apa yang sebenarnya dilakukan orang-orang Holland Utara itu di Tanah Air.

Sebagian besar rakyat Belanda meradang membaca penuturan Multatuli. Namun, karena keuntungan besar yang didatangkan VOC bagi Kerajaan Belanda, Sri Ratu saat itu malah memberikan restu dan dukungannya kepada VOC. Kabarnya, sampai saat ini, kebanyakan penduduk Belanda masih malu bila dibilang orang Holland.

Menuju Amsterdam, dari Holland Utara, di sebelah timur jalan raya ada kompleks rumah-rumah susun tiga tingkat. Rumah-rumah yang berderet rapi tersebut dibangun dengan bata berwarna cokelat tua. Kompleks itu baru dibangun pada 1959. Tujuannya, untuk menampung para tentara Koninklijk Nederlands Indisch Leger (KNIL) yang terpaksa pulang setelah Irian Barat kembali ke pangkuan Republik.

Dari luar, rumah-rumah itu tampak sudah jarang ditinggali. Sebagian besar keturunan tentara KNIL sudah mencari penghidupan di kota-kota besar lainnya di Belanda. Di Amsterdam, lebih sulit lagi mengabaikan sejarah panjang yang dijalani bersama Indonesia dan Belanda. Tak sukar menemukan warung dan kafe dengan nama-nama yang akrab di telinga kita: Restaurant Kartika, Der Waroeng, dan Kafe Batavia di pusat kota Amsterdam.

Namun, yang paling mencolok adalah sebuah tugu besar dari marmer putih di Dam Square, Amsterdam Centrum. Tugu ini dibentuk serupa pilar raksasa. Mengulir sampai setinggi 20 meter lebih. Di tengah tiang itu, menempel patung seorang perempuan. Tepat di bawahnya, ada relief pria dalam pose serupa Yesus Kristus tengah disalib dan seorang anak kecil. Di kiri-kanan kedua patung itu ada patung seorang pria berdiri memegangi kepala dan seekor anjing.

Monumen itu dibangun pada 4 Mei 1956 untuk memperingati para prajurit Belanda yang meninggal selama Perang Dunia II. Ada plaza berdiameter sekitar 50 meter di bawah monumen. Di plaza itu ada secuplik tanah dari berbagai negeri yang pernah jadi koloni Belanda. Dan, tanah dari Indonesia adalah salah satunya.

Ratu Beatrix menaruh karangan bunga dan mengheningkan cipta di Monumen Nasional Belanda itu setiap 4 Mei. Sulit merasa terasing di Amsterdam dengan sebegitu beragamnya orang di sana. Lemparkan pandangan Anda ke mana saja Anda inginkan di Amsterdam. Besar kemungkinan Anda menyaksikan sekelompok orang yang sama sekali tak berkulit putih, juga tidak berambut pirang.

Perempuan dengan jilbab yang rapat, pria-pria berkulit gelap berambut gimbal, juga mereka yang berkulit kuning. Tak usah heran. `'Ada 167 suku bangsa di sini,'' ujar Reno, pemandu wisata asal Indonesia yang sudah lima tahun tinggal di Belanda. Amsterdam hanya seluas 219 kilometer persegi. Sepertiga luas Jakarta.

Suasana di Amsterdam bagi saya serasa gambaran gaya hidup tahun 1969, saat kebebasan dituntut seluas-luasnya oleh anak-anak muda di dunia Barat. Sejumlah muda-mudi di sana terlihat berpakaian longgar ala India yang populer tahun 60-an akhir dan 70-an awal. Kaum Bohemia (musisi jalanan) tersebar di seantero kota. Dengan pakaian lusuh dan gitar, biola, serta saksofon yang kelihatan betul sudah tak baru lagi.

Saat malam tiba, di tengah kota, dari ratusan kafe dan bar di sana menguar bau mirip rumput terbakar. Amsterdam pada sebagian besar waktu, terutama di malam hari, berhawa dingin. Tapi semua orang di sana tahu, asap tipis yang menyelimuti bagian depan kafe dan bar itu bukan kabut. Ia datang dari ratusan linting hasish yang disedot legal di segala tempat di kota dengan seribu jembatan itu.

Belanda menawarkan banyak hal. Dari kenangan masa lampau, transportasi antitelat, sampai rerupa hiburan malam. Dari harapan tentang Eropa yang baru (Reno si pemandu wisata mengatakan bahwa survei terbaru memprediksikan kalau 10 tahun ke depan, imigran yang sebagian besar Muslim akan jadi mayoritas di Belanda) sampai kebebasan yang diumbar tanpa batas.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement