REPUBLIKA.CO.ID, Sebagian orang menganggap canggih cara berpakaian dengan memelorotkan celana sepinggang, terutama kaum muda. Bila Anda termasuk salah satunya ada baiknya mempertimbangkan gaya ini. Lagi pula cara itu tak menjamin membuat orang kagum meski yang sedang dipakai adalah celana dalam merek Versace sekali pun.
Waktunya untuk memiliki pengetahuan. Gaya ini disebut sagging, penganutnya adalah sagger, yakni cara berpakaian mengenakan celana, baik jins, baggy atau tiga perempat, di bawah panggul. Alhasil, cara ini memberi porsi besar bagi celana dalam untuk 'tampil' ke publik
Tren ini berlaku untuk kaum lelaki. Wanita yang mengenakan celana jins rendah hingga ke panggul dan juga memamerkan celana dalamnya tidak disebut sebagai sagger.
Ini bemula dari penjara di kawasan Amerika Utara. Menurut Greg Mathis, seorang Hakim Distrik ke-36 di negara bagian Michigan, gaya berpakaian itu muncul ketika penghuni penjara AS dilarang mengenakan sabuk pada 1970-an. Sabuk berpotensi digunakan sebagai senjata atau alat gantung diri.
Mathis juga menuturkan sagging memiliki konotasi seksual. "Mereka yang menarik celana hingga melorot dan memamerkan celana dalam, bahkan hingga terlihat pantatnya, berarti membuat 'undangan'," ungkapnya kepada majalah Jet. Undangan ini maksudnya jelas, berhubungan seksual dengan sesama penghuni penjara, yang notabene sesama jenis.
Para napi yang telah dibebaskan dari penjara masih mengenakan cara berpakaian itu untuk berkomunikasi dengan satu sama lain, juga sebagai tanda agar tidak diserang oleh sesama mantan napi saat di luar nanti.
Gaya berpakaian ini kemudian dipopulerkan oleh artis hip-hop pada 1990-an. Sebagian dari artis hip-hop kebetulan juga mantan penghuni penjara, tak heran jika mereka membawa gaya pakaian itu ikut serta setelah keluar.
Sejak saat itu, sagging menjadi fesyen untuk simbol kebebasan dan kesadaran 'berbudaya' di kalangan pemuda atau simbol penolakan terhadap masyarakat arus besar. Kadang, remaja mengenakan cara berpakaian ini untuk menunjukkan protes terhadap pemerintah atau otoritas.
Ironinya gaya berpakaian ini diadopsi pula oleh merek-merek ternama. Begitu menjadi tren mode, budaya ini sampai pula ke Indonesia. Sebagian anak muda di Indonesia terlihat percaya diri dengan gaya berpakaian macam ini.
Tentu saja, apakah gaya berpakaian hanya semata-mata dianggap fesyen tanpa memedulikan latar sosial antropologi dibaliknya, itu keputusan orang per orang. Meski perlu diingat, salah satu cara menghormati diri adalah lewat cara berpakaian.
Kalau toh sebagai protes kepada otoritas, apakah pesan akan tersampaikan ketika menggunakan celana melorot hingga memamerkan celana dalam?