REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Perajin batik di kawasan Cilandak, Jakarta Selatan, mengembangkan batik berbahan pewarna alami dari kulit dan buah pohon sehingga produksinya ramah lingkungan dan berkualitas.
"Kami ingin mengembalikan batik ramah lingkungan, seperti yang dilakukan nenek moyang zaman dulu," kata perajin batik yang juga pemilik galeri batik Batik Pohon, Suroso, di Jakarta, Selasa (2/12).
Ia mengatakan kandungan getah dalam tumbuh-tumbuhan bisa diolah menjadi pewarna alami. Selain ramah lingkungan, batik bahan pewarna alami juga mendatangkan keuntungan yang lebih besar sebab harga produk tersebut lebih mahal.
Proses membatik dengan warna alami lebih lama sebab pewarnaan diulang hingga 40 kali. Akibatnya, harga batik tersebut dijual lebih mahal mulai dari Rp 500 ribu hingga Rp 5 juta per lembar.
"Kami sudah punya pelanggan khusus yang membeli dengan harga mahal tapi kualitas warna sangat bagus," katanya.
Di galeri Batik Pohon yang didirikan Suroso pada 2010 pewarna alami yang digunakan berasal dari kulit pohon mahoni, tegeran, jalawe dan indigovera. Dengan pewarna alami tersebut, menurut Suroso, warna pada kain batik lebih tahan lama atau tidak mudah luntur.
Selain itu, proses membatik juga tidak meninggalkan limbah sebab pencelupan pada bahan pewarna dilakukan hingga seluruh bahan terserap pada kain.
"Setelah dicelup lalu dijemur. Kemudian dicelup lagi dan dijemur sampai bahan pewarna itu habis terserap di kain," katanya.
Suroso optimistis, batik dengan warna alami seperti produknya memiliki segmen pasar khusus dan punya peluang untuk diterima di pasar internasional sebab tidak mencemari lingkungan.