Jumat 29 Apr 2016 08:12 WIB

Makrifat Gerak 'Bedhaya Minangkalbu' Tri Ardhika Hipnotis Penonton

Kelompok tari Tri Ardhika mementaskan 'Bedhaya Minang Kalbu' di ajang
Foto: Republika/Budhi Irianto
Kelompok tari Tri Ardhika mementaskan 'Bedhaya Minang Kalbu' di ajang "Menari 24 Jam" 2016 di ISI Surakarta

REPUBLIKA.CO.ID, SOLO -- Setelah melakukan persiapan yang cukup panjang, kelompok tari Tri Ardhika sukses menjadi salah satu penampil di ajang "Menari 24 Jam". Tri Ardhika tampil di Pendopo 3 Kawasan Kampus ISI Surakarta, Kamis (28/4) malam.

Gerak lembut nan sarat makna ditambah iringan musik dan nyanyian sinden yang menghanyutkan serta kibasan kain dari gemulainya langkah penari, membuat seribuan pengunjung terhipnotis melalui tarian mereka, "Bedhaya Minang Kalbu".

Eny Sulistyowati, pimpinan Tri Ardhika yang turut tampil menjadi salah satu penari mengatakan, karya yang dihadirkan malam tadi merupakan satu hal yang berbeda. Baik dari segi ide cerita maupun artistik dengan tidak meninggalkan konsep Bedhaya semestinya.

Selama 25 menit, sembilan penari profesional diantaranya beberapa penari Bedhaya Keraton Surakarta didampingi dua penyimping (Pendamping), dengan iringan 17 pengrawit (Pemusik), enam orang sinden (penyanyi) tampil dengan tata panggung serta penata rias berpengalaman dari Keraton Surakarta.

Tak hanya itu, saat persiapan Eny dan para penari melakukan "Sengkeran" (dipingit). Yakni seluruh penari tinggal bersama di satu tempat yang bertujuan membersihkan diri dan batin, menyatukan rasa, dan doa bersama.

"Pada satu hari jelang pementasan pementasan masing-masing dari kita juga menjalani puasa," tutur Eny saat ditemui usai pementasan, Kamis (28/4) malam.

Menurut Eny hal tersebut sejalan dengan konsep dari tari yang dipentaskan, bahwa Bedhaya merupakan tarian klasik Jawa dengan sembilan penari, yang dikembangkan di kalangan Keraton pewaris tahta sejak jaman Kerajaan Mataram.

Dalam mitologi Jawa, sembilan penari menurut Eny menggambarkan arah mata angin yang dikuasai sembilan dewa (Nawasanga). Atau versi lain menyebut sebagai lambang dari Sembilan Wali atau Wali Songo.

"Kalau isian dari Bedhaya itu bicara tentang kesejatian hidup dan proses pencarian diri seseorang bahwa mencapai tatanan hidup itu tidak gampang. Bagaimana bisa melepaskan kebahagiaan kita untuk orang luas," kata dia.

Tari ini mengajarkan bagaimana manusia bisa menyatu dengan alam. Gerakan dalam tari tidak sekadar bentuk gerak tubuh, tapi seperti manifestasi ibadah.

"Tapi akhirnya saat melakukan tari tadi kita nggak merasakan apa-apa. Enjoy aja. Prosesnya yang mungkin berat. Tapi kita puas, semacam ada pesan bahagia," kata Eny.

Bagi Eny pribadi penampilannya tadi malam membuat kualitas hidupnya semakin meningkat.

"Semakin membumi. Tapi apakah penari lain dan penonton bisa merasakan hal seperti itu, pastinya berbeda. Tapi paling tidak seperti itu," ujar Eny. 

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement