Sabtu 07 Sep 2019 07:15 WIB

Australia Upayakan Daur Ulang Pakaian Bekasnya

Tiga dari 10 orang Australia membuang lebih dari 10 pakaian pada 2018.

Rep: Puti Almas/ Red: Reiny Dwinanda
Sejumlah model melakukan peragaan busana pada pembukaan Pameran Faith Fashion Fusion: Gaya Perempuan Muslim di Australia di Museum Fatahilah, Jakarta, Kamis (1/3).
Foto: Republika/Putra M. Akbar
Sejumlah model melakukan peragaan busana pada pembukaan Pameran Faith Fashion Fusion: Gaya Perempuan Muslim di Australia di Museum Fatahilah, Jakarta, Kamis (1/3).

REPUBLIKA.CO.ID, CANBERRA — Beberapa waktu lalu, Perdana Menteri Australia Scott Morrison mengumumkan dana 20 juta dolar yang disiapkan untuk menumbuhkan industri daur ulang di negara itu. Kebijakan itu juga termasuk dalam komitmen larangan ekspor plastik, kertas, gelas, dan ban.

Meski langkah ini dipuji secara luas, namun tetap menimbulkan pertanyaan bagaimana dengan masalah limbah tekstil di Australia yang masih terus meningkat? Tercatat, lebih dari 501 juta kilogram pakaian yang dibuang berada di tempat pembuangan akhir di negara tersebut setiap tahunnya.

Jumlah ini belum termasuk 94 juta kilogram lainnya, yang diekspor ke luar negeri. Bahkan, angka ini mungkin tidak termasuk seluruhnya karena masalah sampah tekstil di Australia hingga sekarang masih dalam perkiraan.

Tidak seperti gelas dan plastik, sampah tekstil tidak dilacak oleh strategi limbah pemerintah negara bagian atau federal di Australia atau rencana pengelolaan limbah. Hal itu dibuktikan dalam komitmen pemerintah negara itu yang siap memberikan dana sebesar 20 juta dolar AS, namun masalah sampah tekstil yang semakin meningkat tidak ada dalam radar pemerintah negara itu di tingkat apapun.

Graham Ross, salah satu pendiri perusahaan yang bergerak di bidang solusi limbah tekstil BlockTexx mengatakan Anda tidak bisa menyelesaikan suatu masalah, kecuali mengakui bahwa itu ada. Kemudian, yang diperlukan adalah mengindentifikasi cara untuk mengatasinya.

Ross juga menyampaikan sebuah pepatah bisnis yang mengatakan Anda tidak bisa mengelola apa yang tidak Anda takar. Karena kami tidak melacak masalah limbah tekstil kami yang semakin meningkat, dampak lingkungan tidak menjadi prioritas utama semua pembuat keputusan utama.

Salah satu alasannya adalah pakaian yang saat ini dikenakan banyak orang, terbuat dari bahan yang sama dengan bahan pembuat botol plastik sekali pakai atau dikenal dengan istilah PET. Faktanya, sekitar dua pertiga dari PET buatan dunia (sekitar 50 juta ton) digunakan untuk pakaian, dengan sisanya digunakan untuk memproduksi kemasan plastik dan botol plastik.

Ketika mempertimbangkan cara membuang pakaian yang tidak lagi digunakan, banyak yang memprioritaskan untuk menyumbang ke badan amal. Namun, tak jarang yang berpikir jika baju-baju tersebut telah robek atau dalam kondisi yang mungkin lebih baik dibuang? Dari tempat sampah di rumah, perhentian berikutnya adalah tempat pembuangan sampah akhir.

Warga Australia tercatat sebagai konsumen tekstil per kapita tertinggi kedua di dunia, dengan sekitar tiga dari 10 orang mengaku membuang lebih dari 10 item pada tahun lalu saja. Hampir jumlah yang sama orang mengaku membuang sepotong pakaian yang hanya dipakai untuk satu kali.

"Di seluruh dunia kami juga mendengar banyak suara yang meneriakkan bahwa  fast-fashion telah diproduksi secara berlebihan,” ujar Ross dilansir The Guardian, Jumat (6/9).

Secara global industri fashion memompa lebih dari 100 miliar garmen per tahun. Namun, konsumsi yang berlebihan ini tampaknya diabaikan oleh orang Australia, hingga menciptakan kesenjangan yang sangat besar antara jumlah pakaian yang dibuat dan jumlah yang didaur ulang.

Secara global, 87 persen dari seluruh tekstil yang dibuang dikirim ke tempat pembuangan akhir atau dibakar, kemudian 12 persen didaur ulang secara mekanis dengan memotongnya atau mencabik-cabiknya menjadi serat, bahan insulasi atau kain. Kurang dari satu persen diantaranya yang didaur ulang secara kimiawi menjadi bahan baku untuk dapat digunakan kembali.

"Kami telah belajar untuk mendaur ulang kertas dan plastik dan memisahkan sampah rumah tangga kami. Jadi mengapa tidak ada industri daur ulang tekstil?” tanya Ross.

Ross mengatakan jawabannya mungkin terletak pada bagaimana mendefinisikan daur ulang tekstil dan kebutuhan untuk mengakui limbah tekstil apa adanya, yaitu sebagai sumber daya berharga yang harus didaur ulang untuk digunakan kembali. Saat ini, metode daur ulang tekstil termasuk merobek-robek atau mengacak-acak pakaian untuk digunakan kembali secara lokal atau untuk ekspor.

Masalah dari metode itu adalah bahan tersebut pada akhirnya hanya dapat digunakan untuk satu siklus hidup lagi, sebelum kemudian berakhir di tempat pembuangan akhir. Ross menegaskan sudah saatnya mendorong inovasi dalam pemulihan limbah tekstil untuk mengubah limbah menjadi bahan baku baru, melacak dan mengumpulkan sistem untuk memahami skala limbah tekstil, serta untuk mengidentifikasi aliran daur ulang bernilai tinggi dan proses penyortiran robot yang akan memenuhi kebutuhan skala komersial.

Pemisahan bahan kimia adalah teknologi yang menarik. Dengan memisahkan produk sehari-hari seperti sprei, pakaian dan handuk kembali ke bahan baku masing-masing, sumber daya yang pulih dapat digunakan kembali ke industri tekstil atau ke produk lain, seperti kemasan plastik dan botol plastik.

Manfaat dari proses pemisahan ini dan dalam menggunakan bahan-bahan daur ulang, adalah berkurangnya dampak terhadap lingkungan dengan tidak memproduksi bahan-bahan murni. Selain itu, ditambah dengan produk-produk daur ulang, yang diperoleh kembali di Australia, tersedia untuk digunakan dalam produk-produk yang diproduksi negara.

Ross mengatakan perlu ada investasi dalam inovasi daur ulang yang memungkinkan para pihak terkait untuk meningkatkan sistem yang ada, sekaligus untuk menggantikan cara lama. Ini akan membuat perbedaan besar terhadap lingkungan dan ekonomi, serta akan berperan dalam mengubah wajah industri pemulihan sumber daya di Australia.

“Jika tidak saat ini, generasi mendatang akan bertanya mengapa kita begitu lama. Ini adalah sangat penting bagi pembuat keputusan agar jangan sampai terlambat,” kata Ross menambahkan.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement