REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ada beberapa isu krusial dalam pembahasan RUU Pengampunan Pajak (tax amnesty) yang saat ini sedang dalam pembahasan oleh panitia kerja. Wakil Ketua Fraksi PKS DPR RI Ecky Awal Mucharam mengatakan reformasi perpajakan yang harus dilakukan bersamaan dengan tax amnesty.
Dia mengatakan pengalaman negara-negara lain menunjukan tax amnesty yang dilakukan tanpa reformasi perpajakan selalu gagal. Tax amnesty berhasil hanya jika didahului oleh reformasi perpajakan. Menurut dia, tax amnesty tidak akan berhasil tanpa adanya reformasi perpajakan, yang meliputi aspek regulasi, administrasi, dan institusi perpajakan.
"Oleh karena itu sejak awal pembahasan fraksi-fraksi di DPR selalu mendorong agar tax amnesty menjadi bagian tak terpisahkan dari reformasi perpajakan. Salah satu kuncinya ada di revisi Undang-undang Ketentuan Umum Perpajakan (KUP)," kata dia.
Tanpa disertai reformasi perpajakan, kata dia, negara tidak akan memiliki bargaining position yang kuat dalam tax amnesty. Kedua, soal tarif tebusan yang dinilai terlalu rendah sehingga dapat mencederai rasa keadilan dan membuat negara kehilangan banyak potensi penerimaannya.
Sebagaimana diketahui dalam draf RUU tarif tebusan sebesar 2, 4, atau 6 persen untuk non-repatriasi dan 1, 2, atau 3 persen untuk repatriasi. Hampir semua fraksi di DPR meminta tarif dinaikan.
"Ada yang mengusulkan pada kisaran 5-15 persen. Ada juga sebagian fraksi termasuk PKS yang meminta agar yang dihapus hanya sanksi administratif dan pidana pajaknya saja," ujar Ecky.
Sehingga tarif tebusan sesuai tarif normal KUP atau sekitar 25-30 persen. "Saya yakin ketentuan ini pun masih menarik bagi mereka karena sanksi administrasi saja besarnya 48 persen dari pokok utang pajak, ditambah penghapusan pidananya," katanya.