REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Presiden Joko Widodo telah menandatangai Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2016 tentang perubahan kedua atas UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang perlindungan anak. Dalam Perppu tersebut, pemerintah telah memutuskan adanya pemberatan pidana dan atau pidana tambahan serta tindakan lain bagi pelaku kekerasan seksual terhadap anak.
Menanggapi hal ini, Ketua DPR RI, Ade Komarudin, akan menyerahkan sepenuhnya pada mekanisme di DPR untuk bisa menjadikan Perppu tersebut sebagai Undang-Undang. Kendati begitu, meski belum membaca materi Perppu itu secara rinci, tapi Akom, panggilan Ade, mendukung langkah pemerintah tersebut.
"Perppu mekanismenya di Dewan pada posisi bisa menerima atau menolak. Tapi kan itu ada masanya, nanti kami proses seperti biasa di dewan. Tetapi dalam pandangan saya, dari judulnya sih patut mendapatkan dukungan, walaupun saya belum baca materinya," ujar Ade di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta Pusat, Rabu (25/5).
Ade menjelaskan, nantinya Fraksi-Fraksi di DPR akan memutuskan melalui sidang paripurna, apakah akan menerima atau menolak Perppu tersebut menjadi Undang-Undang. DPR, lanjut Akom, tidak bisa mengubah ataupun melakukan pergantian di dalam materi-materi Perppu itu.
"Kan kalimatnya (di UU MD3), di Dewan itu cuma menyetujui atau menolak, tidak bisa kami perbaiki dulu, tidak bisa seperti itu. Jadi perdebatan itu tergantung pada fraksi yang ada,'' tuturnya.
Ade menambahkan, Perppu yang telah dikeluarkan oleh Pemerintah tersebut tidak bisa digabungkan dengan Perppu soal Kekerasan Seksual. Setiap Perppu, lanjut Ade, harus dibahas satu per satu.