Ahad 06 Jan 2019 01:45 WIB

Pengamat: Literasi Menulis di Pesantren Masih Lemah

Kiai atau ulama kerap berceramah, tetapi tidak menulis.

Rep: Fuji E Permana/ Red: Ratna Puspita
Ilustrasi Pondok Pesantren
Foto: Foto : MgRol112
Ilustrasi Pondok Pesantren

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Minimnya kemampuan menulis para kiai dan santri dinilai masih menjadi tantangan pesantren-pesantren di Indonesia sekarang. Karena itu, pesantren disarankan dapat melahirkan santri dan kiai yang memiliki kemampuan literasi menulis. 

Pengamat Pendidikan Islam dari UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Jejen Musfah berpandangan, masalah yang dihadapi pesantren sekarang bagaimana melahirkan kiai yang memiliki kemampuan membaca dan menulis. Dengan demikian, kiai-kiai tersebut dapat melahirkan ide-ide baru yang dituangkan dalam tulisan.

"Kiai kita banyak yang mengajar mengaji, mengajar membaca kitab ke sana kemari tetapi ide-ide (kiai) tersebut tidak dituliskan dalam sebuah tulisan sehingga ketika ulama atau kiai tersebut meninggal sulit sekali melacak pemikiran yang bersangkutan untuk dipelajari generasi berikutnya," kata Jejen kepada Republika.co.id, Sabtu (5/1). 

Ia menerangkan, banyak informasi dan pendapat yang sudah ditulis oleh ulama terdahulu. Akibatnya, generasi sekarang bisa membaca kitab-kitab lama yang ditulis mereka, tetapi sulit menemukan kitab yang dilahirkan oleh ulama-ulama generasi sekarang.

Ia mencontohkan Syekh Nawawi al-Bantani, ulama Indonesia yang bisa menulis dalam bahasa Arab, memiliki karya yang diakui oleh ulama di Asia, bahkan dunia. Akan tetapi, sekarang sulit mencari ulama semacam Syekh Nawawi karena literasi menulis masih menjadi kelemahan pesantren-pesantren.

Ia menambahkan, contoh lainnya Prof KH Quraish Shihab yang banyak menulis dan melahirkan buku. Hal ini berbeda dengan kebanyakan kiai lainnya, meski ceramah di mana-mana tetapi tidak menulis.

"Sangat mudah melacak pemikiran pak Quraish, disamping beliau banyak menulis juga ceramah di mana-mana," ujarnya.

Jejen menjelaskan, dapat dipastikan tradisi di pesantren Indonesia adalah tradisi membaca, memahami teks, membaca kitab gundul yang tidak ada harakatnya. Para kiai dan santri bisa membaca itu semua. Akan tetapi, lain cerita ketika mereka diminta untuk menulis hal-hal baru untuk menjawab persoalan-persoalan yang dihadapi umat dan negara.

Misalnya menulis tentang bagaimana menghadapi radikalisme dan intoleransi di era ini. Di bidang ekonomi syariah, misalnya, ulama menulis persoalan ekonomi syariah yang tidak berkembang pesat di Indonesia.

"Itu persoalan yang menurut saya ulama perlu turun tangan menuliskan ide-ide yang bisa meyakinkan masyarakat, supaya percaya sistem Islam adalah sistem terbaik," ujarnya.

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Yuk Ngaji Hari Ini
وَمَا تَفَرَّقُوْٓا اِلَّا مِنْۢ بَعْدِ مَا جَاۤءَهُمُ الْعِلْمُ بَغْيًاۢ بَيْنَهُمْۗ وَلَوْلَا كَلِمَةٌ سَبَقَتْ مِنْ رَّبِّكَ اِلٰٓى اَجَلٍ مُّسَمًّى لَّقُضِيَ بَيْنَهُمْۗ وَاِنَّ الَّذِيْنَ اُوْرِثُوا الْكِتٰبَ مِنْۢ بَعْدِهِمْ لَفِيْ شَكٍّ مِّنْهُ مُرِيْبٍ
Dan mereka (Ahli Kitab) tidak berpecah belah kecuali setelah datang kepada mereka ilmu (kebenaran yang disampaikan oleh para nabi) karena kedengkian antara sesama mereka. Jika tidaklah karena suatu ketetapan yang telah ada dahulunya dari Tuhanmu (untuk menangguhkan azab) sampai batas waktu yang ditentukan, pastilah hukuman bagi mereka telah dilaksanakan. Dan sesungguhnya orang-orang yang mewarisi Kitab (Taurat dan Injil) setelah mereka (pada zaman Muhammad), benar-benar berada dalam keraguan yang mendalam tentang Kitab (Al-Qur'an) itu.

(QS. Asy-Syura ayat 14)

Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement