Kamis 26 Jan 2017 21:08 WIB

Dewan Peternak Nasional Endus Adanya Permainan dalam MK

Rep: Intan Pratiwi/ Red: Ilham
Gedung Mahkamah Konstitusi (MK) di Jakarta.
Foto: kpu.jabarprov.go.id
Gedung Mahkamah Konstitusi (MK) di Jakarta.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kasus dugaan suap yang menjerat salah satu hakim Mahkamah Konsitusi Patrialis Akbar merupakan kejadian yang disyukuri oleh Dewan Peternak Nasional. Ketua Dewan Peternak Nasional, Teguh Boediyana mengatakan, pihaknya sudah lama curiga adaya permainan dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2014 yang ada di MK.

Ia mengatakan, pihaknya merupakan salah satu yang mengajukan Judicial Review (JR) atas terbitnya undang-undang tersebut. Undang-undang yang mengatur terkiat perternakan dan kesehatan hewan tersebut sebelumnya merupakan UU Nomer 18 Tahun 2009. Namun, pada 2010 UU tersebut diubah terutama pada pasal 56 tentang kewenangan negara mengimpor daging dari daerah dengan basis zona.

Teguh menilai, kebijakan tersebut sangat berbahaya karena impor daging melalui basis zona tak bisa menjamin kesehatan dan kualitas daging. Pada 16 Oktober 2015, Teguh mengajukan gugatan JR atas pasal 36 pada UU Nomer 41 Tahun 2014 yang disahkan oleh MK tersebut.

"Kami sejujurnya senang dengan terungkapnya kasus ini. Karena undang-undang tersebut sebenarnya sangat salah dan merugikan masyarakat. Sudah benar dengan adanya UU Nomor 18 Tahun 2009, tapi malah diubah lagi ke UU Nomor 41 Tahun 2014. Kami sudah mengajukan JR sejak 2015, namun sidang tak dilanjutkan dan MK tak segera mengeluarkan keputusan," ujar Teguh di Plaza Festival, Kamis (26/1).

Teguh mengatakan, pihaknya sudah sempat melakukan sidang hingga 15 Mei 2017. Pemeriksaan, pengajuan gugatan dan mendengarkan keterangan saksi ahli sudah dilakukan. Namun, hingga delapan bulan berselang, MK tak kunjung mengeluarkan keputusan yang membuat para peternak lokal mengalami kerugian karena harus bersaing dengan daging impor yang tak bisa dijamin kesehatannya.

Teguh mengatakan, saat delapan bulan tersebut pemerintah lalu mengeluarkan paket kebijakan nomor XI terkait impor daging dengan basis zona, bukan basis negara. Hal ini yang menurut Teguh tak sesuai dengan ekonomi kerakyatan.

"Kami mengajukan JR ini semata-mata memang untuk nasib masyarakat. Tetapi setelah kami mengajukan JR tak ada tanda tanda dari MK untuk segera memutuskan sidang yang sudah berlangsung lebih dari delapan bulan tersebut," kata Teguh.

Ia mengatakan, dengan adanya kasus ini bisa terlihat bahwa memang ada invisible hand yang mempunyai kepentingan atas izin impor daging tersebut. Ia mengaku bersyukur dan berterima kasih dengan KPK atas terungkapnya kasus ini. Ia mengatakan, dengan adanya kejadian OTT ini merupakan pukulan telak bagi MK untuk bisa membuktikan profesionalismenya.

"Akhirnya, invisible hand itu terbuka juga, kami tidak mau ikut campur terlalu dalam, karena ini ranah KPK. Namun, kami mengaku bersyukur, dan dengan adanya ini maka semestinya MK segera membuat keputusan terkait hal ini," kata Teguh.

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement