Senin 18 Apr 2016 11:56 WIB

Tragedi 1965, Pemerintah tak Ingin Punya Beban Sejarah

Rep: Ratna Puspita/ Red: Achmad Syalaby
  Menko Polhukam Luhut Binsar Panjaitan.
Foto: Antara/Resno Esnir
Menko Polhukam Luhut Binsar Panjaitan.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- ‎Pemerintah tidak ingin memiliki beban sejarah atas tragedi 1965 yang menelan banyak korban. Pemerintah pun ingin menuntaskan persoalan itu secara menyeluruh.

Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Luhut Binsar Pangaribuan ‎mengatakan pada Simposium Nasional bertema Membedah Tragedi 1965, Pendekatan Sejarah menjadi langkah untuk menyelesaikan persoalan itu secara menyeluruh. Dari Simposium itu, Luhut berharap bakal muncul masukan-masukan untuk menyelesaikan masalah ini.

"Kita ingin menyelesaikan persoalan ini dan ini merupakan bagian dari sejarah kelam bangsa kita yang kita harus tuntaskan," ujar dia usai pembukaan Simposium Nasional di Hotel Arya Duta, Jakarta Pusat, Senin (18/4).

Luhut menyadari upaya pemerintah menyelesaikan persoalan ini bakal mendapat penolakan. "Tidak bisa semua orang setuju dalam satu keluarga. Tapi, spirit kita adalah penyelesaian secara menyeluruh agar ini tidak jadi beban sejarah," ujar dia.

Penolakan datang dari Front Pancasila yang melakukan unjuk rasa di sekitar Patung Tugu Tani, Jakarta Pusat, ketika simposium berlangsung. Massa mengkhawatirkan simposium ini menjadi ajang kembalinya Partai Komunis Indonesia (PKI). 

Pengunjuk rasa berdalih PKI merupakan pemberontak yang sudah mengakibatkab banyak korban jiwa. Rekonsiliasi juga sudah berlangsung secara alami.  "PKI menghalalkan segala cara, tidak boleh diberikan ruang hidup. Simposium ini dianggap sudah selesai, perlu ditolak dan dibubarkan," kata seorang pengunjuk rasa, Alfian Tanjung, ketika berorasi. 

Ali Hamzah selaku koordinator demo menyatakan ada enam alasan Front Pancasila menolak dan meminta simposium dibubarkan. Pertama, simposium dilaksanakan dengan tujuan mendapatkan legitimasi bahwa PKI merupakan korban pelanggaran hak Azasi Manusia (HAM).

Kedua, simposium dimanfaatkan  untuk menekan pemerintah agar menyatakan permintaan maaf, memberikan rehabilitasi dan kompensasi terhadap eks PKI. Ketiga, simposium dimanfaatkan untuk menghidupkan kembali paham komunis yang bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945.

Keempat, simposium hanya akan membuka luka lama sejarah sehingga menimbulkan perpecahan baru. Kelima, rekonsiliasi telah berjalan alamiah dan tidak dapat dipaksakan. "Sehingga para anggota PKI telah hidup damai dan bermasyarakat," ujar Ali.

Keenam, hak-hak politik dan perdata para anggota PKI serta keturunannya telah dikembalikan. Hal ini ditunjukkan dengan penghilangan tanda ET di KTP. Juga, banyak yang menjadi anggota dewan dan kepala daerah di berbagai wilayah.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement