Senin 18 Mar 2013 10:32 WIB

Merayakan Ulang Tahun, Bolehkah? (2-habis)

Rep: Nashih Nasrullah/ Red: Endah Hapsari
Pesta ultah
Foto: greentowers.co.uk
Pesta ultah

REPUBLIKA.CO.ID, Perayaan ultah merupakan budaya non-Muslim yang datang dari dunia Barat. Semestinya, tidak begitu saja menelan mentah-mentah tradisi tersebut. Jika mudah mengekor maka ini berarti apa yang diwanti-wantikan oleh Rasulullah SAW terbukti. 

Dalam riwayat Bukhari Muslim dari Abu Said al-Khudri Rasul menyatakan, akan datang generasi umat yang mengikuti tradisi Yahudi dan Nasrani. Saking fanatiknya, jika generasi itu disuruh memasuki sarang biawak, pun niscaya akan ditempuh. Syekh al-Muni yang menjadi penasihat syariah administrasi Kerajaan Arab Saudi ini menyebut, fatwa yang dikeluarkan oleh Syekh Salman itu bertentangan dengan pandangan mayoritas ulama. 

Syekh al-Muni membeberkan, antara lain, pendapat Ibnu Taimiyyah di kitab Itiqdha fi ash-Shirath al-Mustaqim, Ibn al-Jauzi, serta sejumlah ulama masa sekarang, seperti Syekh Abdullah bin Baz dan Syekh al-Utsaimin. Pendapat Syekh Salman dianggap pula berseberangan dengan keputusan Lembaga Kajian Tetap dan Fatwa Kerajaan Arab Saudi. 

Landasan secara umum yang dijadikan dasar pelarangan perayaan ultah oleh mereka ialah dalil tentang larangan bidah. Dan, tentunya tak ketinggalan kecaman akan keberadaan generasi Muslim yang cenderung “copy paste/copas” dengan budaya non-Muslim. Argumentasi yang sama juga dipakai oleh Lembaga Fatwa (Dar al-Ifta) Libia. 

Selain dalil di atas, lembaga fatwa resmi negara yang pernah dipimpin oleh Muammar al-Qadzafi itu mengemukakan, Islam hanya mengenal dua perayaan, yaitu Idul Fitri dan Adha. Karena itu, tak boleh menyelenggaraan perayaan ultah meski dengan konsep sederhana. Alasannya, indikasi pengharaman ialah penyerupaan terhadap kebiasaan yang berlaku di kalangan non-Muslim. 

Namun, tampaknya tak semua sepakat dengan lembaga fatwa resmi kedua negara di atas, yaitu Arab Saudi dan Libia. Lembaga Fatwa (Dar al-Ifta) Mesir mengeluarkan keputusan yang membolehkan perayaan ultah. 

Menurut lembaga yang kini dipimpin oleh Mufti terpilih, yaitu Syekh Syauqi Ibrahim Abd el-Karim Allam, peringatan ultah merupakan bentuk rasa syukur manusia atas nikmat kelahiran. Allah SWT memberikan nikmat tersebut agar dipergunakan semaksimal mungkin. Ucapan rasa syukur atas nikmat kelahiran itu pernah diisyaratkan melalui lisan Nabi Isa AS. “Dan kesejahteraan semoga dilimpahkan kepadaku, pada hari aku dilahirkan, pada hari aku meninggal, dan pada hari aku dibangkitkan hidup kembali.” (QS Maryam [19: 33). 

Langkah serupa juga pernah dilakukan oleh Rasulullah SAW saat berpuasa pada Senin. Tujuan puasa Rasulullah di hari tersebut merupakan wujud terima kasih kepada-Nya yang lahir pada hari itu. Ini seperti tertuang di hadis Muslim dari Abu Qatadah al-Anshari. 

Namun, Lembaga ini menggarisbawahi beberapa hal penting yang perlu diperhatikan, yaitu hendaknya tidak menganggap ini sebagai perayaan keagamaan, jauhi perkara haram dan maksiat, dan segala hal yang dilarang oleh agama selama perayaan ultah itu digelar. 

Menggelar pesta dengan mengundang handai tolan pun tak jadi soal. Ini adalah bentuk upaya berbagai kebahagiaan. Mendatangkan kebahagiaan untuk sesama Muslim termasuk amalan yang dianjurkan. Ini seperti penegasan hadis riwayat Abu Hurairah. 

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement