Rabu 26 Jun 2013 11:04 WIB

Bermain untuk Meningkatkan Kreativitas Anak, Seperti Apa?

Seorang anak bermain/ilustrasi
Foto: abcnews
Seorang anak bermain/ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID, Masa anak-anak adalah usia untuk belajar, menjelajah, bertanya, bermain, berkreasi, dan juga meniru. Juga usia untuk berkelompok serta belajar peran serta keterampilan sosial. Semua ini, ungkap  psikolog perkembangan Ratih Adjayani Ibrahim, dilakukan anak dalam konteks role playing, yang tak lain adalah bermain.

Bermain dengan berpura-pura menjadi orang lain adalah hal yang lazim ditemui pada anak-anak. Para ahli menyebut hal ini sebagai role playing. Ratih mengatakan, role playing adalah bagian dari proses belajar anak. ''Misalkan kalau anak perempuan pura-pura menjadi ratu, anak laki-laki menjadi dokter,'' jelas Ratih. Ia menjelaskan, ini adalah bukti bahwa anak memiliki fantasi yang besar dan kemampuan untuk mengembangkan imajinasi. Proses kreatif anak pun akan terbantu.

''Bermain merupakan proses kreatif dan berpikir abstrak,'' jelas psikolog dari Universitas Indonesia ini. Ia menjelaskan, dalam proses bermain anak membangun proses imajinasi kreatifnya. Bermain bisa dilakukan secara individual maupun kelompok.

Misalnya bersama saudara, teman sebaya, orang dewasa seperti orang tuanya. Yang pasti, lanjut Ratih, pada saat anak melakukan role playing, ia akan belajar tentang sebuah peran. Bagaimana harus bersikap dan bagaimana menghadapi konflik dalam tingkat yang sederhana.

Proses role playing tidak hanya bisa dilakukan berkelompok. Ada kalanya anak melakukan proses itu sendiri. ''Atau dengan teman fantasi maupun mainan,'' tukas Ratih. Bisa juga dengan mengadopsi tokoh-tokoh yang ia lihat di sekelilingnya.

Mainan sendiri merupakan alat bantu belajar. Selain juga alat bantu untuk membangun imajinasi dan fantasi kreatif anak. ''Dengan mainan, anak juga memiliki alat bantu untuk membangun suasana,'' lanjutnya. Meski begitu, pemilihan alat bantu mainan ini harus diawasi.

Ratih mengingatkan, anak belajar dengan meniru model idolanya. Dalam hal ini mainan, seperti Barbie, Donal Bebek, dan lain-lain. Karena itu orang tua hendaknya mengarahkan anak pada karakter yang positif.

''Sehingga bisa menjadi panutan bagi anak akan bagaimana harus bersikap serta belajar tentang nilai-nilai hidup,'' katanya. Misalkan, karakter yang anak sukai adalah karakter yang memang baik. Sehingga menjadi panutan bagi anak.

Selain itu, orang tua bisa memperkenalkan anak mainan yang sedang tren. Karena familiar, bisa dengan mudah dipahami anak. Ratih sangat menekankan perlunya peran orang tua dalam pemilihan mainan untuk anak.

Ratih menegaskan, ada mainan yang bersifat gender free, ada juga yang tidak. ''Seperti boneka, ada yang sekarang diperuntukkan bagi anak laki-laki, mobil-mobilan juga ada yang boleh untuk anak perempuan,'' jelas Ratih.

Di sisi lain, ada mainan yang memang khusus untuk anak laki atau khusus untuk anak perempuan. ''Seperti Barbie, itu jelas untuk perempuan,'' tegasnya. Karena mainan dilihat sebagai alat bantu untuk proses role playing, Ratih tidak menyarankan mainan seperti ini untuk anak laki. 

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement