REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Seiring dengan munculnya ahli-ahli medis yang sangat banyak jumlahnya, dibangun pula lembaga-lembaga kesehatan berupa klinik ataupun rumah sakit. Rumah sakit pertama dalam peradaban Islam dibangun oleh Khalifah Al-Walid dari Dinasti Umayyah.
Hebatnya lagi, konsep rumah sakit Islam sejak dini sudah memerhatikan asas etika moral, baik bagi pasien maupun dokternya. Afzalur Rahman menjelaskan, rumah sakit besar Al-Manshur yang didirikan di Damaskus pada tahun 1284 merupakan rumah sakit terbuka untuk semua lapisan masyarakat. Kaya atau miskin, laki-laki atau perempuan, bangsawan atau rakyat jelata, semuanya mendapatkan pelayanan yang baik.
Rumah sakit ini memiliki bangsal yang terpisah antara laki-laki dan perempuan. Satu bangsal dibuat terpisah khusus untuk penderita demam; khusus untuk penderita penyakit mata; khusus untuk penderita penyakit pencernaan; dan ada ruang untuk bedah. Tersedia pula beberapa ruang tambahan yang dimanfaatkan untuk dapur, ruang kuliah, apotek, dan lain sebagainya.
Baca: Pendorong Kemajuan Ilmu Kedokteran Peradaban Islam
Lengkapnya sarana dan prasarana rumah sakit tersebut disempurnakan dengan etika kedokteran Islam. Perumusan etika kedokteran ini menjadi lebih mantap pada era Dinasti Turki Utsmani. Dokter-dokter di era Turki Utsmani harus berpegang teguh pada prinsip kesederhanaan/kesopanan, kepuasan, harapan, dan kesetiaan.
Dalam prinsip kesopanan/kesederhanaan, seorang dokter harus menyadari bahwa dirinya adalah khalifah Tuhan yang bertugas menolong proses penyembuhan pasien. Seorang dokter hanyalah sarana, sedangkan penyembuh nyata adalah Allah SWT.
Di samping itu, seorang dokter harus melawan uang yang bukan haknya dengan alasan pengobatan. Etika yang ditetapkan menuntut seorang dokter agar menahan diri untuk tidak menjadi ambisius dan tekun mengumpulkan harta.
Seorang dokter juga diwajibkan melanjutkan pengobatan kepada pasiennya selama dia mampu, yaitu merawat pasiennya secara jujur dan tidak mengenal putus asa. Demikianlah semangat umat Islam kala itu berbuat untuk manusia dan kemanusiaan. Mereka jauh dari roh persaingan yang memperebutkan keuntungan material. Namun, berlomba dalam kebaikan bingkai keimanan yang ditanamkan Rasulullah SAW.