Ahad 15 Dec 2013 00:02 WIB

Korupsi Dorongan Perilaku Hedonis

Rep: Edy Setyoko/ Red: Julkifli Marbun
 Ketua KPK Abraham Samad memberikan paparan ketika menghadiri pembukaan Pekan Anti Korupsi, Jakarta, Senin (9/12).  (Republika/Adhi Wicaksono)
Ketua KPK Abraham Samad memberikan paparan ketika menghadiri pembukaan Pekan Anti Korupsi, Jakarta, Senin (9/12). (Republika/Adhi Wicaksono)

REPUBLIKA, SOLO -- Pertanyaan besar menghantui rakyat Indonesia, kenapa masih banyak pejabat penyelenggara sudah bergaji besar tetap saja korupsi. Menurut Ketua KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi), Abraham Samad, karena kelakuan yang bersangkutan serakah. Rakus. "Mereka itu berperilaku hedonis dan serba pragmatis," katanya, Sabtu (13/12) petang.

 

Orang melakukan tindak pidana korupsi. kata Samad, karena didorong berperilaku serba hedonis dan pragmatis. Jadi, bukan jaminan pejabat penyelenggara negara yang gajinya besar tidak akan melakukan perbuatan korupsi. Dan, ternyata saat ini masih banyak pejabat yang masuk kelompok ini.

 

"Sudah sepantasnya, kalau ada pejabat penyelenggara bergaji besar masih korupsi dihukum berat. Saya pribadi setuju dihukum mati," tegas Samad dalam acara dialog publik di Kampus Kentingan, Universitas Negeri Sebelas Maret (UNS), Solo.

 

Dialog yang dipandu host cantik, Mata Najwa, kali ini mengambil tema 'Pemimpin Inspiratif', selain Abraham Samad juga menghadirkan narasumber, Ketua Dewan Masjid Indonesia (DMI) M Jusuf Kalla (JK), Rektor Universitas Paramadina, Anis Baswedan, Gubernur DKI Jakarta, Joko Widodo, Gubernur Jateng, Ganjar Pranowo. Ribuan mahasiswa mengikuti acara yang dikemas dengan santai dan kocak ini.

 

Masih menurut Abraham Samad, hukuman terhadap koruptor harus menimbulkan efek jera. Jadi, sudah selayaknya dan sepantasnya pelaku kosupsi harus diganjar hukuman berat, hukuman mati sekalipun. ''Jadi, tidak apa-apa orang berperilaku tamak, rakus, serakah, dijatuhi hukuman seberat-beratnya''.

 

Berbeda dengan kondisinya dengan seorang pegawai rendahan yang melakukan korupsi. Dia hanya bergaji Rp 2 juta sampai Rp 3 juta. Yang bersangkutan harus menghidupi seorang isteri dan tiga anak. Kalau masih melakukan korupsi untuk menambal kebutuhan hidup, karena gajinya tak memenuhi. Tindak korupsi bukan karena perilaku tamak, rakus, dan serakah.

 

Kalau memang ada pegawai rendahan korupsi, kata Abraham Samad, negara harus hadir di sini. Negara harus hadir untuk memperbaiki struktur gaji pegawai yang dirasa layak. Jadi, sama-sama pegawai pemerintah korupsi tapi beda perilaku. Satu, karena didorong hedonisme dan pragmatisme. Yang lain, korupsi karena untuk menambal kebutuhan hidup.

 

Sekedar mengingatkan saja, saat ini tercatat 313 kepala daerah yang disinyalir melakukan tindak pidana korupsi. Jumlah pejabat sebanyak itu, terperosok lubang yang sama, yakni terperangkap melakukan tindak pidana korupsi. Data catatan pejabat tersebut sudah masuk KPK.

 

Gubernur DKI Joko Widodo ekstra hati-hati dalam menjalankan roda pemerintahan ibukota. Mantan Walikota Solo ini tidak mau terjebak pada jarum lubang yang sama dengan 313 kepala daerah tersebut. Namun demikian, ia bersama jajaran Pemprov DKI tidakn perlu ragu dan takut terseret dalam kasus korupsi. ''Selama diyakini benar dan tidak salah, jalan terus. saya pasang badan,'' kata Jokowi, panggilan akrabnya.

 

Kata kuncinya, kata Jokowi, pimpinan daerah musti dekat dengan rakyat. Terutama dengan rakyat yang nasibnya kurang beruntung, menderita, maupun masyarakat lapis bawah. Selama bergaul dengan rakyat, otak, hati, dan mata bathin, serasa terisi kegiatan spiritual. Sepertinya, tak tega untuk bertindak jahat dengan uang rakyat.

"Saya menjadi gubernur karena perintah partai. Dalam hati dan otak tidak bernafsu dan berpikir untuk nyolong dan nyopet," komentar Ganjar Pranowo, Gubernur Jateng. Ia sudah empat bulan menjabat gubernur, tak berpikiran untuk mencari uang, penggandi modal kampanye Pilgub. Jadi, tak pernah berpikir untuk segera kembali modal pencalonan gubernur.

 

Gubernur dari PDI Perjuangan ini berujar, "saya jadi gubernur 'mboten pengin ngapusi' (ingin menipu) dan korupsi". Jadi, dalam benak hati dan pikiran tak terlintas untuk nyopet dan nyolong. Demikian pula kalau anak buahnya yang melakukan tindak penyimpangan, seyogyanya dihindari semaksimal mungkin. Kalau memang birokrasinya jelek, harus diperbaiki dengan sistem dan tata kelola pemerintahan yang baik.

 

Rektor Universitas Paramadina, Anis Baswedan, salut sampai saat ini ada anak muda yang berani memberantas korupsi. Negeri ini tak bakal kehilangan generasi yang bertekad memberantas korupsi. Masih banyak yang ingin berjuang melawan tidak pidana yang merongrong uang rakyat. "Mari kita beri ketauladanan pada anak bangsa untuk tidak berperilaku korupsi," ajak tokoh intelektual kampus ini.

 

Ihwal keteladanan, kata Abraham Samad, perlu diajarkan kepada generasi penerus bangsa. Orangtua wajib menanamkan sikap dan perilaku yang dapat dicontoh, menanamkan nilai-nilai kejujuran sejak dari kecil. Jadi, penanaman kejujuran diberikan sejak dini.

 

Abaram Samad memberi contoh waktu ia masih kecil, masih duduk di sekolah dasar. Ia mengambil lima batang kapur tulis. Sesampai di rumah diketahui ibu. Oleh ibunya suruh mengembalikan, walaupun saat mengambil kapur tulis diketahui gurunya. Ketika hendak berangkat sekolah ibunya masih mengingatkan soal kapur tulis yang hendak dikembalikan. Inilah contoh sepele penanaman kejujuran dilakukan sejak kecil.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement